PSIKOLOGI KOGNITIF
Sebuah Titik Balik
A.
Sekilas Tentang Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif merupakan salah satu cabang ilmu
psikologi yang baru lahir. Setidaknya dapat dibuktikan dengan hadirnya
sebuah buku “pengantar” di akhir tahun 1970-an oleh Ulric Neisser. Namun, jauh
sebelum itu, para pemikir dan ilmuan setelahnya telah lebih dulu mencoba untuk
merumuskan beberapa hal yang saat ini telah menjadi bahan pokok kajian dalam
psikologi kognitif itu sendiri.
Sebagaimana
kita ketahui, Psikologi berawal dari keberanian untuk memisahkan diri dari filsafat
dan berada di kubu yang berkebalikan, dalam konteks tendensi metodologis. Maka
menjadi niscaya kemudian jika para sejarawan psikologi melacak akar-akar paling
awal kemunculannya dalam dua pendekatan yang berbeda. Pertama, filosofis, yang berusaha memahami
hakikat umum dari aspek-aspek segala sesuatunya, utamanya melalui metode
intraspeksi (yaitu sebuah pengujian terhadap ide-ide dan pengalaman-pengalaman
batiniyah). Kedua, fisiologis, yaitu studi ilmiah tentang fungsi-fungsi yang
mempertahankan kehidupan di dalam materi hidup atau organik, utamanya lewat
metode-metode empiris.
1.
Filosofis:
Rasionalisme dan Empirisme
Pemikiran
Plato dan muridnya Arisoteles berhasil memberikan pengaruh yang mendalam
terhadap pemikiran filsafat zaman modern, termasuk dalam wilayah kajian ilu
psikologi. Meskipun mereka adalah guru-murid, keduanya sangat berbeda pendapat
dalam bagaimana cara terbaik dalam memahami dan menyelidiki ide. Plato yang
notabanenya seorang rasionalis, menganggap bahwa untuk memahami itu, metode
terbaik yang dapat ditempuh adalah melalui analisis logis. Sebaliknya,
Aristoteles, seorang empirisis berkeyakinan bahwa metode observasi empirislah
yang paling tepat.
Di abad
pertengahan, psikologi kognitif yang muncul umumnya berupa upaya untuk
mengelaborasikan ide-ide Aristoteles. Upaya-upaya awal ini beruasaha
menempatkan proses-proses kognitif di dalam otak. Di abad 17 pertentangan dua
aliran tersebut menguat kembali. Di antaranya pandangan rasionalis Prancis,
Renѐ Deskartes dan pandangan empirisis Inggris, John Locke. Descartes setuju
dengan Plato. Ia memandang metode reflektif dan introspektif sebagai metode
yang lebih unggul dalam menemukan kebenaran. Sebaliknya, John Locke mendukung
Aristotelian bagi observasi empiris. John Locke berkeyakinan bahwa manusia
dilahirkan tanpa pengetahuan Oleh karena itu mereka harus mencari pengetahuan
lewat pengalaman empiris. Locke kemudian mengistilahkannya dengan tabularasa.
Inti dari gagasannya adalah bahwa hidup dan pengalaman “menuliskan” pengetahuan
pada diri kita. Sehingga studi tentang belajar adalah kunci untuk memahami
pikiran manusia. Hingga akhirnya, di abad 18, filsuf Jerman, Immanuel Kant,
secara dialektis mensintesiskan pandangan Descartes dan Locke. Inti gagasannya
adalah bahwa rasionalisme dan empirisme sam-sama memiliki nilai tambah dan
kurang, sehingga kedua harus bekerjasama untuk menemukan kebenaran.
2.
Fisiologis:
Dari Stukturaslisme Hingga Kelahiran Psikologi Kognitif
Dalam
sejarah Psikologi, peperangan wacana antara Strukturalisme dan Fungsionalime
menempati urutannya di awal. Strukturalisme berusaha untuk memahami struktur
pikiran dan persepsi dengan menganalisis komponen-komponen yang paling dasar.
Seorang psikolog Jerman, Wihelm Wundt mendukung studi tentang pengalaman-pengalaman
inderawi melalui metode introspeksi. Aliran ini kemudian dibawa ke Amerika oleh
muridnya, Edward Titchener, meskipun selanjutnya aliran ini mendapat kritik
baik dalam hal metode yang digunakan maupun fokus teorinya.
Berangkat
dari kritik tersebut, sebuah aliran alternatif kemudian lahir, yang dikenal
dengan Fungsionalisme. Aliran ini berusaha untuk memahami apa dan mengapa
manusia melakukan sesuatu. Berbeda dengan aliran sebelumnya, fungsionalis yakin
bahwa untuk memahami pikiran dan perilaku manusia adalah dengan mempelajari
proses-proses “bagaimana” dan “mengapa” pikiran bekerja, bukan mempelajari
kandungan struktural dan elemen-elemen pikiran itu sendiri.
Beberapa
waktu kemudian, kaum fungsionalis yakin bahwa penggunaan metode apa pun dapat
memberikan jawaban terbaik pertanyaan peneliti. Dari ini, mulai tampak bahwa
paradigma kaum fungsionalis dalam memahami objek kajiannya sudah mengarah pada
bentuk-bentuk pragmatisme. Salah seorang yang mengarahkan fungsionalisme menuju
pragmatisme adalah William James, yang tertuang dalam bukunya, Principles of
Psychology. Selain itu juga ada seorang prgmatis, John Dewey yang ikut
mempengaruhi terhadap pemikiran kontemporer psikologi kognitif. Gagasan
terpentingnya adalah mengenai pendekatan pragmatisnya terhadap- ide-ide tentang
berpikir dan sekolah.
Setelah
itu muncul aliran sistesis yang dikenal dengan asosiasionisme. Asosiasioneisme
menguji bagaimana kejadian-kejadian atau ide-ide dapat diasosiasikan satu sama
lain dalam pikiran untuk menghasilkan suatu bentuk pembelajaran. Di akhir abad
19, asosiasionis bernama Hermann Ebbinghaus adalah orang pertama yang
bereksperimen dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip asosiasionisme secara
sistematis. Asosiasionis lain yang berpengaruh adalah Edward lee Thorndike.
Peneliti-peneliti
yang juga rekan-rekan sezaman Thorndike menggunakan eksperimen-eksperimen
dengan hewan laboratorium untuk menyelidiki stimulus respon dengan cara yang
berbeda dari Thorndike dan kaum asosiasionis lainnya yang kemudian dikenal
dengan aliran Behaviorisme. Setelah itu baru kemudian lahir pendekatan baru
yang disebut kognitivisme yang berkeyakinan bahwa kebanyakan perilaku manusia
dapat dipahami berdasarkan cara mereka berpikir.
Sebelumnya,
Karl Spencer Lashley, murid John B. Watson, menentang keras pandangan kaum
behavioris yang beranggapan bahwa otak manusia adalah organ pasif yang hanya
merespon stimulus lingkungan di luar dirinya. Lashley malah menganggap bahwa
otak sebagai organisatoris yang paling efektif dan dinamis bagi perilaku. Bagi Lashley,
tak satu pun dari aktifitas-aktifitas manusia yang sangat kompleks dapat
dijabarkan dengan rigid lewat pengkondisian yang begitu sederhana.
Di awal
1960-an, perkembangan-perkembangan dalam psikobiologi, linguistik, antropologi,
selain reaksi-reaksi terhadap behaviorisme oleh banyak psikolog di arus utama,
mulai menyatu untuk menciptakan sebuah atmosfer yang siap bagi sebuah revolusi
pemikiran. Para kognitivis awal berpendapat bahwa pemahaman para behavioris
tradisional tentang perilaku tidak adekuat karena mereka tidak mengatakan
apa-apa tentang cara manusia berpikir. Di
tahun-tahun inilah terbit buku Neisser, Cognitif
Psychology sangat krusial membawa kognitivisme menjadi
terkemuka dan menyadarkan akan berkembangnya sebuah bidang studi yang baru. Disusul
kemudian denga munculnya tulisan Allen Newel dan Hernert Simon.
3.
Manusia Menurut
Aliran Psikologi Kognitif
Manusia dalam konsepsi
psikologi kognitif adalah mahkluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah
stimuli yang diterimanya (homo sapiens). Artinya manusia adalah makhluk
yang berpikir dan tidak pasif dalam merespon lingkungannya serta berusaha
memahai lingkungannya. Lebih tegasnya bahwa manusia adalah organisme aktif yang
menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungannya. Logika dari
perilaku manusia menurut aliran ini adalah bahwa jiwa manusia menafsirkan
pengalaman indrawi secara aktif melalui proses mencipta, mengorganisasikan,
menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Jadi manusialah yang menentukan
makna stimuli dan bukan stimuli itu sendiri. Beberapa teori perilaku menurut aliran ini adalah teori dari Kurt
Lewin yang mengatakan bahwa perilaku manusia bukan sekedar respon dari stimulus
melainkan produk dari berbagi gaya yang mempengaruhinya secara spontan. Gaya tersebut
oleh Lewin dirumuskan dalam B = f (P. E). Behavior adalah hasil interaksi
antara persons (diri orang) dengan Enviroment (lingkungan psikologisnya).
Teori lain dari aliran ini
mengatakan bahwa manusia adalah pencari konsistensi kognitif (consistency
seeker). Manusia merupakan mahkluk yang mejaga keajegan dalam sistem
kepercayaannya dan diantara sistem kepercayaan dengan perilaku. Asumsi ini
melahirkan teori yang disebut denga disonansi kognitif artinya manusia akan
akan mencari informasi yang mengurangi disonansi (ketidakcocokan antara dua
kognisi). Manusia bila bertemu dengan informasi yang disonan dengan
keyakinannya maka ia akan menolak, meragukan sumbernya, mencari konsonan atau
mengubahnya.
B.
Ontologi Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif adalah ilmu mengenai pemrosesan
informasi. Bagaimana cara manusia memperoleh informasi mengenai dunia dan
bagaimana pemrosesannya, bagaimana cara informasi itu disimpan dan diproses
oleh otak, bagaimana informasi itu disampaikan dengan struktur penyusunan
bahasa dan proses-proses tersebut ditampilkan dengan sebuah perilaku yang dapat
diamati dan juga yang tidak dapat diamati. Psikologi kognitif juga mencakup
keseluruhan proses psikologis dari sensasi ke persepsi, pengenalan pola,
atensi, kesadaran, belajar, memori, formasi konsep, berpikir, imajinasi,
bahasa, kecerdasan, emosi dan bagaimana keseluruhan hal tersebut berubah
sepanjang hidup (terkait perkembangan manusia) dan bersilangan dengan berbagai
bidang perilaku. Dalam psikologi kognitif terdapat proses kognitif yang meliputi:
1. Input eksternal pengambilan atau penangkapan sebuah
informasi.
2. Atensi selektif dan persepsi pemaknaan dari informasi
yang didapat dari input eksternal.
3. Pembentukan representasi internal yang disimpan dalam
memori.
4. Pengambilan keputusan perecananaan.
5. Pengambilan tindakan sebagai tanggapan dari stimulus.
C.
Epistemologi Psikologi
Kognitif
Epistemologi
membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha atau cara
untuk memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu epistemologi psikologi kognitif membahas
proses yang terlibat dalam usaha atau cara untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana cara manusia memperoleh informasi mengenai dunia dan bagaimana
pemrosesannya, bagaimana cara informasi itu disimpan dan diproses oleh otak,
bagaimana informasi itu disampaikan dengan struktur penyusunan bahasa dan
proses-proses tersebut ditampilkan dengan sebuah perilaku yang dapat diamati
dan juga yang tidak dapat diamati.
Cara untuk memperoleh pengetahuan dalam psikologi
kognitif bersumber pada metode yang digunakan para peneliti Jerman (Wundt, dkk)
untuk mempelajari memori, asosiasi dan proses-proses psikologis. Seiring
berkembangnya psikologi kognitif menjadi ilmu yang bersifat interdisipliner,
psikologi kognitif meminjam cara-cara penelitian dari cabang ilmu lain dan
memodifikasi cara-cara tersebut. Ada berbagai macam cara memperoleh pengetahuan
yang dapat digunakan oleh para ilmuwan psikologi. Beberapa cara mencoba
mendeskripsikan fenomena yang terjadi (studi observasi) dan cara yang
lain membantu peneliti menjelaskan fenomena yang terjadi (eksperimen).
Melalui sebuah eksperimen determinan sebab dan akibat dapat ditentukan,
sehingga metode eksperimen menjadi sebuah cara yang berharga bagi para psikolog
kognitif.
Salah satu
contohnya adalah tentang perkembangan kognitif anak-anak yang dikemukakan oleh
Jean Piaget. Piaget meneliti dan
menulis subjek perkembangan kognitif dari 1929 sampai 1980. Tidak seperti
ahli-ahli psikologi sebelumnya, Piaget menyatakan cara berpikir anak-anak
berbeda bukan hanya kurang matang dibandingkan orang dewasa karena kalah
pengetahuan, tetapi juga berbeda secara kualitatif. Artinya, cara anak-anak berpikir tidak
sama dengan orang dewasa. Piaget (1950)
menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan
dan beradaptasi dengan lingkungannya (teori perkembangan kognitif). Jean Piaget
dapat mengemukakan teori tersebut setelah melakukan eksperimen dengan mengikuti
dan mengamati perkembangan ketiga anaknya.
Satu karakteristik umum dari sebuah cara memperoleh pengetahuan
adalah adanya unit analisis. Unit analisis adalah bahan atau fokus utama dari
sebuah studi. Para psikolog kognitif umumnya menggunakan unit analisis berupa
individu perseorangan. Cara yang digunakan dalam psikologi kognitif dapat
dikategorikan menjadi dua: (1) mengukur korelasi psikologis dengan dunia nyata,
misalnya studi pelacakan bola mata; dan (2) mendokumentasikan kasus-kasus unik,
misalnya defisit fungsi kognitif pada anak yang menjalani pengobatan
haroperidol untuk penyembuhan gangguan tic.
D.
Aksiologi Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif dianggap penting karena beberapa kegunaannya yaitu:
1.
Kognisi atau proses mental
merupakan masalah pokok dalam studi psikologi. Hal ini berarti dalam kehidupan
sehari-hari, seseorang tak akan lepas dari aspek kognisinya. Contohnya
persepsi, atensi terhadap suatu stimulus, ingatan, pengetahuan dan lain-lain.
2.
Pandangan psikologi kognitif
banyak berpengaruh pada bidang-bidang psikologi lain, sebagai contoh pendekatan
psikologi kognitif tentang aspek kognisi banyak digunakan dalam bidang
psikologi sosial (misal persepsi masyarakat terhadap patologi sosial, psikologi
konseling (misal mengubah cara berfikir yang salah), psikologi pendidikan (misal
fungsi ingatan dan intelegensi terhadap prestasi) dan psikologi konsumen (misal
upaya membentuk persepsi konsumen).
3. Melalui prinsip kognisi, seseorang dapat menangani dan
memproses informasi secara efisien dan terorganisasi dengan baik. Dengan
memahami aspek kognisi serta proses-proses yang terkait, manusia menjadi lebih
tahu dan mampu menciptakan cara-cara mengolah informasi agar bermanfaat bagi
diri sendiri dan lingkungannya secara lebih baik. Misalnya menciptakan komputer
(kecerdasan buatan) untuk mempermudah pekerjaaan dan komunikasi dengan orang
lain, berbicara secara efektif dan efisien, menciptakan kode atau digit angka
untuk bantuan mengingat nomor telefon atau KTP secara lebih cepat.
E.
Kesimpulan
Psikologi kognitif dalam pandangan
filsafat dapat dipandang melalui tiga dimensi yaitu: ontologi, epistimologi dan
aksiologi. Ontologi membahas apa yang dipelajari dari prespektif psikologi
kognitif dimana psikologi kognitif adalah ilmu mengenai pemrosesan informasi. Bagaimana
cara manusia memperoleh informasi mengenai dunia dan bagaimana pemrosesannya,
bagaimana cara informasi itu disimpan dan diproses oleh otak, bagaimana
informasi itu disampaikan dengan struktur penyusunan bahasa dan proses-proses
tersebut ditampilkan dengan sebuah perilaku yang dapat diamati dan juga yang
tidak dapat diamati. Sedangkan epistemologi membahas bagaimana cara mempelajari
psikologi kognitif, yakni dengan metode
observasi dan eksperimen. Aksiologi
memandang manfaat psikologi kognitif dalam kehidupan sehari-hari seperti: kognisi atau proses mental
yang merupakan masalah pokok dalam studi psikologi, pandangan psikologi
kognitif banyak berpengaruh pada bidang-bidang psikologi lain, melalui prinsip
kognisi, seseorang dapat menangani dan memproses informasi secara efisien dan
terorganisasi dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Djali. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Dalyono. (1997). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Muhibin, Syah. (2002). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Solso, L. Robert, Maclin, H.O, & Maclin, M.K. 2008. Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.
Sternberg, J.Robert.2008. Psikologi
Kognitif edisi ke-empat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumanto, Wasty. (2006). Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar