Rabu, 05 Februari 2014

PSIKOLOGI KOGNITIF (Landasan Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis)

PSIKOLOGI KOGNITIF
Sebuah Titik Balik

A.    Sekilas Tentang Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang baru lahir. Setidaknya dapat dibuktikan dengan hadirnya sebuah buku “pengantar” di akhir tahun 1970-an oleh Ulric Neisser. Namun, jauh sebelum itu, para pemikir dan ilmuan setelahnya telah lebih dulu mencoba untuk merumuskan beberapa hal yang saat ini telah menjadi bahan pokok kajian dalam psikologi kognitif itu sendiri.
Sebagaimana kita ketahui, Psikologi berawal dari keberanian untuk memisahkan diri dari filsafat dan berada di kubu yang berkebalikan, dalam konteks tendensi metodologis. Maka menjadi niscaya kemudian jika para sejarawan psikologi melacak akar-akar paling awal kemunculannya dalam dua pendekatan yang berbeda. Pertama, filosofis, yang berusaha memahami hakikat umum dari aspek-aspek segala sesuatunya, utamanya melalui metode intraspeksi (yaitu sebuah pengujian terhadap ide-ide dan pengalaman-pengalaman batiniyah). Kedua, fisiologis, yaitu studi ilmiah tentang fungsi-fungsi yang mempertahankan kehidupan di dalam materi hidup atau organik, utamanya lewat metode-metode empiris.

1.      Filosofis: Rasionalisme dan Empirisme
Pemikiran Plato dan muridnya Arisoteles berhasil memberikan pengaruh yang mendalam terhadap pemikiran filsafat zaman modern, termasuk dalam wilayah kajian ilu psikologi. Meskipun mereka adalah guru-murid, keduanya sangat berbeda pendapat dalam bagaimana cara terbaik dalam memahami dan menyelidiki ide. Plato yang notabanenya seorang rasionalis, menganggap bahwa untuk memahami itu, metode terbaik yang dapat ditempuh adalah melalui analisis logis. Sebaliknya, Aristoteles, seorang empirisis berkeyakinan bahwa metode observasi empirislah yang paling tepat.
Di abad pertengahan, psikologi kognitif yang muncul umumnya berupa upaya untuk mengelaborasikan ide-ide Aristoteles. Upaya-upaya awal ini beruasaha menempatkan proses-proses kognitif di dalam otak. Di abad 17 pertentangan dua aliran tersebut menguat kembali. Di antaranya pandangan rasionalis Prancis, Renѐ Deskartes dan pandangan empirisis Inggris, John Locke. Descartes setuju dengan Plato. Ia memandang metode reflektif dan introspektif sebagai metode yang lebih unggul dalam menemukan kebenaran. Sebaliknya, John Locke mendukung Aristotelian bagi observasi empiris. John Locke berkeyakinan bahwa manusia dilahirkan tanpa pengetahuan Oleh karena itu mereka harus mencari pengetahuan lewat pengalaman empiris. Locke kemudian mengistilahkannya dengan tabularasa. Inti dari gagasannya adalah bahwa hidup dan pengalaman “menuliskan” pengetahuan pada diri kita. Sehingga studi tentang belajar adalah kunci untuk memahami pikiran manusia. Hingga akhirnya, di abad 18, filsuf Jerman, Immanuel Kant, secara dialektis mensintesiskan pandangan Descartes dan Locke. Inti gagasannya adalah bahwa rasionalisme dan empirisme sam-sama memiliki nilai tambah dan kurang, sehingga kedua harus bekerjasama untuk menemukan kebenaran.
2.      Fisiologis: Dari Stukturaslisme Hingga Kelahiran Psikologi Kognitif
Dalam sejarah Psikologi, peperangan wacana antara Strukturalisme dan Fungsionalime menempati urutannya di awal. Strukturalisme berusaha untuk memahami struktur pikiran dan persepsi dengan menganalisis komponen-komponen yang paling dasar. Seorang psikolog Jerman, Wihelm Wundt mendukung studi tentang pengalaman-pengalaman inderawi melalui metode introspeksi. Aliran ini kemudian dibawa ke Amerika oleh muridnya, Edward Titchener, meskipun selanjutnya aliran ini mendapat kritik baik dalam hal metode yang digunakan maupun fokus teorinya.
Berangkat dari kritik tersebut, sebuah aliran alternatif kemudian lahir, yang dikenal dengan Fungsionalisme. Aliran ini berusaha untuk memahami apa dan mengapa manusia melakukan sesuatu. Berbeda dengan aliran sebelumnya, fungsionalis yakin bahwa untuk memahami pikiran dan perilaku manusia adalah dengan mempelajari proses-proses “bagaimana” dan “mengapa” pikiran bekerja, bukan mempelajari kandungan struktural dan elemen-elemen pikiran itu sendiri.
Beberapa waktu kemudian, kaum fungsionalis yakin bahwa penggunaan metode apa pun dapat memberikan jawaban terbaik pertanyaan peneliti. Dari ini, mulai tampak bahwa paradigma kaum fungsionalis dalam memahami objek kajiannya sudah mengarah pada bentuk-bentuk pragmatisme. Salah seorang yang mengarahkan fungsionalisme menuju pragmatisme adalah William James, yang tertuang dalam bukunya, Principles of Psychology. Selain itu juga ada seorang prgmatis, John Dewey yang ikut mempengaruhi terhadap pemikiran kontemporer psikologi kognitif. Gagasan terpentingnya adalah mengenai pendekatan pragmatisnya terhadap- ide-ide tentang berpikir dan sekolah.
Setelah itu muncul aliran sistesis yang dikenal dengan asosiasionisme. Asosiasioneisme menguji bagaimana kejadian-kejadian atau ide-ide dapat diasosiasikan satu sama lain dalam pikiran untuk menghasilkan suatu bentuk pembelajaran. Di akhir abad 19, asosiasionis bernama Hermann Ebbinghaus adalah orang pertama yang bereksperimen dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip asosiasionisme secara sistematis. Asosiasionis lain yang berpengaruh adalah Edward lee Thorndike.
Peneliti-peneliti yang juga rekan-rekan sezaman Thorndike menggunakan eksperimen-eksperimen dengan hewan laboratorium untuk menyelidiki stimulus respon dengan cara yang berbeda dari Thorndike dan kaum asosiasionis lainnya yang kemudian dikenal dengan aliran Behaviorisme. Setelah itu baru kemudian lahir pendekatan baru yang disebut kognitivisme yang berkeyakinan bahwa kebanyakan perilaku manusia dapat dipahami berdasarkan cara mereka berpikir.
Sebelumnya, Karl Spencer Lashley, murid John B. Watson, menentang keras pandangan kaum behavioris yang beranggapan bahwa otak manusia adalah organ pasif yang hanya merespon stimulus lingkungan di luar dirinya. Lashley malah menganggap bahwa otak sebagai organisatoris yang paling efektif dan dinamis bagi perilaku. Bagi Lashley, tak satu pun dari aktifitas-aktifitas manusia yang sangat kompleks dapat dijabarkan dengan rigid lewat pengkondisian yang begitu sederhana.
Di awal 1960-an, perkembangan-perkembangan dalam psikobiologi, linguistik, antropologi, selain reaksi-reaksi terhadap behaviorisme oleh banyak psikolog di arus utama, mulai menyatu untuk menciptakan sebuah atmosfer yang siap bagi sebuah revolusi pemikiran. Para kognitivis awal berpendapat bahwa pemahaman para behavioris tradisional tentang perilaku tidak adekuat karena mereka tidak mengatakan apa-apa tentang cara manusia berpikir. Di tahun-tahun inilah terbit buku Neisser, Cognitif Psychology sangat krusial membawa kognitivisme menjadi terkemuka dan menyadarkan akan berkembangnya sebuah bidang studi yang baru. Disusul kemudian denga munculnya tulisan Allen Newel dan Hernert Simon.
3.      Manusia Menurut Aliran Psikologi Kognitif
Manusia dalam konsepsi psikologi kognitif adalah mahkluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (homo sapiens). Artinya manusia adalah makhluk yang berpikir dan tidak pasif dalam merespon lingkungannya serta berusaha memahai lingkungannya. Lebih tegasnya bahwa manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungannya.  Logika dari perilaku manusia menurut aliran ini adalah bahwa jiwa manusia menafsirkan pengalaman indrawi secara aktif melalui proses mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Jadi manusialah yang menentukan makna stimuli dan bukan stimuli itu sendiri. Beberapa teori perilaku menurut aliran ini adalah teori dari Kurt Lewin yang mengatakan bahwa perilaku manusia bukan sekedar respon dari stimulus melainkan produk dari berbagi gaya yang mempengaruhinya secara spontan. Gaya tersebut oleh Lewin dirumuskan dalam B = f (P. E). Behavior adalah hasil interaksi antara persons (diri orang) dengan Enviroment (lingkungan psikologisnya).
Teori lain dari aliran ini mengatakan bahwa manusia adalah pencari konsistensi kognitif (consistency seeker). Manusia merupakan mahkluk yang mejaga keajegan dalam sistem kepercayaannya dan diantara sistem kepercayaan dengan perilaku. Asumsi ini melahirkan teori yang disebut denga disonansi kognitif artinya manusia akan akan mencari informasi yang mengurangi disonansi (ketidakcocokan antara dua kognisi). Manusia bila bertemu dengan informasi yang disonan dengan keyakinannya maka ia akan menolak, meragukan sumbernya, mencari konsonan atau mengubahnya.

B.     Ontologi Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif adalah ilmu mengenai pemrosesan informasi. Bagaimana cara manusia memperoleh informasi mengenai dunia dan bagaimana pemrosesannya, bagaimana cara informasi itu disimpan dan diproses oleh otak, bagaimana informasi itu disampaikan dengan struktur penyusunan bahasa dan proses-proses tersebut ditampilkan dengan sebuah perilaku yang dapat diamati dan juga yang tidak dapat diamati. Psikologi kognitif juga mencakup keseluruhan proses psikologis dari sensasi ke persepsi, pengenalan pola, atensi, kesadaran, belajar, memori, formasi konsep, berpikir, imajinasi, bahasa, kecerdasan, emosi dan bagaimana keseluruhan hal tersebut berubah sepanjang hidup (terkait perkembangan manusia) dan bersilangan dengan berbagai bidang perilaku. Dalam psikologi kognitif terdapat proses kognitif yang meliputi:
1.      Input eksternal pengambilan atau penangkapan sebuah informasi.
2.      Atensi selektif dan persepsi pemaknaan dari informasi yang didapat dari input eksternal.
3.      Pembentukan representasi internal yang disimpan dalam memori.
4.      Pengambilan keputusan perecananaan.
5.      Pengambilan tindakan sebagai tanggapan dari stimulus.

C.    Epistemologi Psikologi Kognitif
Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha atau cara untuk memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu epistemologi psikologi kognitif membahas proses yang terlibat dalam usaha atau cara untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana cara manusia memperoleh informasi mengenai dunia dan bagaimana pemrosesannya, bagaimana cara informasi itu disimpan dan diproses oleh otak, bagaimana informasi itu disampaikan dengan struktur penyusunan bahasa dan proses-proses tersebut ditampilkan dengan sebuah perilaku yang dapat diamati dan juga yang tidak dapat diamati.
Cara untuk memperoleh pengetahuan dalam psikologi kognitif bersumber pada metode yang digunakan para peneliti Jerman (Wundt, dkk) untuk mempelajari memori, asosiasi dan proses-proses psikologis. Seiring berkembangnya psikologi kognitif menjadi ilmu yang bersifat interdisipliner, psikologi kognitif meminjam cara-cara penelitian dari cabang ilmu lain dan memodifikasi cara-cara tersebut. Ada berbagai macam cara memperoleh pengetahuan yang dapat digunakan oleh para ilmuwan psikologi. Beberapa cara mencoba mendeskripsikan fenomena yang terjadi (studi observasi) dan cara yang lain membantu peneliti menjelaskan fenomena yang terjadi (eksperimen). Melalui sebuah eksperimen determinan sebab dan akibat dapat ditentukan, sehingga metode eksperimen menjadi sebuah cara yang berharga bagi para psikolog kognitif.
Salah satu contohnya adalah tentang perkembangan kognitif anak-anak yang dikemukakan oleh Jean Piaget. Piaget meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif dari 1929 sampai 1980. Tidak seperti ahli-ahli psikologi sebelumnya, Piaget menyatakan cara berpikir anak-anak berbeda bukan hanya kurang matang dibandingkan orang dewasa karena kalah pengetahuan, tetapi juga berbeda secara kualitatif. Artinya, cara anak-anak berpikir tidak sama dengan orang dewasa. Piaget (1950) menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya (teori perkembangan kognitif). Jean Piaget dapat mengemukakan teori tersebut setelah melakukan eksperimen dengan mengikuti dan mengamati perkembangan ketiga anaknya.
Satu karakteristik umum dari sebuah cara memperoleh pengetahuan adalah adanya unit analisis. Unit analisis adalah bahan atau fokus utama dari sebuah studi. Para psikolog kognitif umumnya menggunakan unit analisis berupa individu perseorangan. Cara yang digunakan dalam psikologi kognitif dapat dikategorikan menjadi dua: (1) mengukur korelasi psikologis dengan dunia nyata, misalnya studi pelacakan bola mata; dan (2) mendokumentasikan kasus-kasus unik, misalnya defisit fungsi kognitif pada anak yang menjalani pengobatan haroperidol untuk penyembuhan gangguan tic.

D.    Aksiologi Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif dianggap penting karena beberapa kegunaannya yaitu:
1.      Kognisi atau proses mental merupakan masalah pokok dalam studi psikologi. Hal ini berarti dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tak akan lepas dari aspek kognisinya. Contohnya persepsi, atensi terhadap suatu stimulus, ingatan, pengetahuan dan lain-lain.
2.      Pandangan psikologi kognitif banyak berpengaruh pada bidang-bidang psikologi lain, sebagai contoh pendekatan psikologi kognitif tentang aspek kognisi banyak digunakan dalam bidang psikologi sosial (misal persepsi masyarakat terhadap patologi sosial, psikologi konseling (misal mengubah cara berfikir yang salah), psikologi pendidikan (misal fungsi ingatan dan intelegensi terhadap prestasi) dan psikologi konsumen (misal upaya membentuk persepsi konsumen).
3.      Melalui prinsip kognisi, seseorang dapat menangani dan memproses informasi secara efisien dan terorganisasi dengan baik. Dengan memahami aspek kognisi serta proses-proses yang terkait, manusia menjadi lebih tahu dan mampu menciptakan cara-cara mengolah informasi agar bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya secara lebih baik. Misalnya menciptakan komputer (kecerdasan buatan) untuk mempermudah pekerjaaan dan komunikasi dengan orang lain, berbicara secara efektif dan efisien, menciptakan kode atau digit angka untuk bantuan mengingat nomor telefon atau KTP secara lebih cepat.

E.     Kesimpulan
Psikologi kognitif dalam pandangan filsafat dapat dipandang melalui tiga dimensi yaitu: ontologi, epistimologi dan aksiologi. Ontologi membahas apa yang dipelajari dari prespektif psikologi kognitif dimana psikologi kognitif adalah ilmu mengenai pemrosesan informasi. Bagaimana cara manusia memperoleh informasi mengenai dunia dan bagaimana pemrosesannya, bagaimana cara informasi itu disimpan dan diproses oleh otak, bagaimana informasi itu disampaikan dengan struktur penyusunan bahasa dan proses-proses tersebut ditampilkan dengan sebuah perilaku yang dapat diamati dan juga yang tidak dapat diamati. Sedangkan epistemologi membahas bagaimana cara mempelajari psikologi kognitif, yakni dengan metode observasi dan eksperimen. Aksiologi memandang manfaat psikologi kognitif dalam kehidupan sehari-hari seperti: kognisi atau proses mental yang merupakan masalah pokok dalam studi psikologi, pandangan psikologi kognitif banyak berpengaruh pada bidang-bidang psikologi lain, melalui prinsip kognisi, seseorang dapat menangani dan memproses informasi secara efisien dan terorganisasi dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Djali. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Dalyono. (1997). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Muhibin, Syah. (2002). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Solso, L. Robert, Maclin, H.O, & Maclin, M.K. 2008. Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.
Sternberg, J.Robert.2008. Psikologi Kognitif edisi ke-empat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumanto, Wasty. (2006). Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar