ONTOLOGI ILMU
A.
Peluang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), pengertian peluang
yaitu: (1) Kesempatan; (2) Ruang gerak, baik yang konkret maupun yang abstrak,
yang memberikan kemungkinan bagi suatu kegiatan untuk memanfaatkannya dalam
usaha mencapai tujuan. Dalam perkembangannya peluang menjadi salah satu cabang
ilmu yang baru yang kemudian dikenal dengan ilmu probabilistik atau ilmu
peluang. Walau termasuk ilmu yang relatif baru, ilmu ini bersama dengan
statistika berkembang cukup pesat. Peluang dinyatakan dari angka 0 sampai 1.
Angka 0 menyatakan bahwa suatu kejadian itu tidak mungkin terjadi. Dan angka 1
menyatakan bahwa sesuatu itu pasti terjadi. Misalnya bahwa peluang semua
makhluk hidup itu akan mati dinyatakan dengan angka 1.
Hukum statistika hanya menyatakan distribusi kemungkinan atau peluang
dari nilai besaran dalam kasus-kasus individual. Misalnya peluang munculnya
angka tertentu dari lemparan dadu adalah 1/6. Hukum statistik tidak meramalkan
apa yang akan terjadi atau apa yang pasti terjadi dalam suatu lemparan dadu.
Hukum ini hanya menyatakan jika kita melempar dalam jumlah lemparan yang banyak
sekali maka setiap muka dadu diharapkan untuk muncul sama seringnya.
Kita tahu bahwa untuk menjelaskan fakta dari suatu pengamatan,
tidak pernah pasti secara mutlak karena masih ada kemungkinan kesalahan
pengamatan. Namun di luar dari pada itu jika hal ini ditinjau dari hakikat
hukum keilmuwan maka terdapat kepastian yang lebih besar lagi. Hal itu karena
ilmu menyimpulkan sesuatu dengan kesimpulan probabilistik. Ilmu tidak pernah
ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat
mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan
lewat penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Ilmu memberikan
pengetahuan sebagai dasar bagi kita untuk mengambil keputusan, dimana keputusan
harus berdasarkan penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif dengan
demikian maka kata akhir dari suatu keputusan terletak di tangan kita dan bukan
di teori-teori keilmuan. Oleh karena itu manusia yang mempercayai ilmu tidak
akan sepenuhnya menumpukan kepercayaannya terhadap apa yang dinyatakan oleh
ilmu tersebut.
Misalnya seorang ilmuwan geofisika dan meteorologi hanya bisa
memberikan bahwa kepastian tidak turun hujan 0.8, atau seorang psikolog hanya
bisa memberikan alternatif mengenai jalan-jalan yang bisa diambil. Keputusan
apa yang akan diambil seseorang sehubungan informasi cuaca di atas atau langkah
apa yang akan diambil seseorang sesuai saran psikolog tergantung masing-masing
pribadi. Keputusan ada di tangan masing-masing pribadi bukan pada teori-teori
keilmuwan. Maka mungkin itu yang menjadi penyebab orang yang tidak pernah mau
mengambil keputusan sendiri lebih senang pergi ke dukun. Hal itu karena
berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater paling-paling diberi
alternatif-alternatif yang dapat diambil, sedangkan pergi ke dukun maka si
dukun akan dengan pasti berkata, “Pilih jalan ini, saya jamin pasti berhasil”.
Akan tetapi, seseorang yang mengenal dengan baik hakikat ilmu akan lebih
mempercayai pernyataan “80% anda akan sembuh jika meminum obat ini” daripada
pernyataan “yakinlah bahwa anda pasti sembuh setelah meminum obat ini”.
B.
Beberapa Asumsi Dalam Ilmu
Sudah maklum bahwa setiap manusia yang baru dilahirkan tidak
langsung besar dan pandai, sewaktu kita kecil tentunya akan beranggapan bahwa
segalanya kelihatan besar, pohon terasa begitu tinggi, orang-orang terlihat
seperti raksasa, saat kita duduk di Sekolah Dasar dulu menganggap sangat luar biasa
akan kemampuan guru-guru Sekolah Dasar di saat itu. Anggapan, dugaan asumsi
atau pandangan yang dilontarkan anak kecil itu menurut kita orang dewasa
seperti biasa saja, memang pandangan itu akan berubah setelah kita beranjak
dewasa. Dunia yang besar ternyata tidak sebesar apa yang kita kira, hal ini
terutama dengan ditopang oleh kemajuan wawasan, informasi dan teknologi,
sehingga segalanya seolah menjadi menciut, bumi yang luas tadi seperti seluas
daun kelor.
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, asumsi memiliki arti: (1) dugaan yang diterima sebagai
dasar; (2) landasan berpikir karena dianggap benar. Dalam ilmu filsafat, asumsi
merupakan pernyataan yang kebenarannya dapat diuji secara empiris. Jujun Suriasumantri
berpendapat bahwa (2010: 89), dalam menggabungkan asumsi ini maka harus
diperhatikan beberapa hal, yakni:
1.
Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan
tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan
dasar dari pengkajian teoritis. Asumsi bahwa manusia dalam administrasi adalah
“manusia administrasi” kedengarannya memang filsafati namun tidak mempunyai
arti apapun dalam penyusunan teori-teori administrasi. Asumsi manusia dalam
administrasi yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial,
makhluk aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi-asumsi
ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi, dan praktik administrasi.
Asumsi bahwa manusia adalah mahkluk administrasi, dalam pengkajian
administrasi, akan menyebabkan kita berhenti di situ, seperti sebuah lingkaran
setelah berputar-putar kita kembali ke tempat semula, jadi ke situ juga
ujungnya.
2.
Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan
sebagai mana adanya”, bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi asumsi harus bersifat das sein bukan das
sollen. Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif.
Asumsi pertama
adalah asumsi yang mendasari telaah imiah. Sedangkan asumsi kedua adalah asumsi
yang mendasari telaah moral. Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia
yang berperan adalah manusia yang “yang mencari keuntungan sebesar besarnya
dengan menghindari kerugian sekecil-kecilnya” maka itu saja yang kita jadikan
sebagai pegangan tidak usah ditambah dengan sebaiknya begini, atau seharusnya
begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam penyusunan kebijaksanaan (policy),
atau strategi, serta penjabaran peraturan lainnya, maka hal ini bisa saja
dilakukan, asalkan semua itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan.
Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian
keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini
kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda
penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk
pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu
yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan
pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya
kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberikan
informasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang berbeda maka dapat
diusahakan pemecahannya.
Berikut ini adalah beberapa asumsi dalam ilmu
pengetahuan:
1.
Asumsi dalam Ilmu Alam
Fisika
merupakan ilmu teoritis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif yang
meyakinkan serta pembuktian induktif yang sangat mengesankan. Namun sering dilupakan
orang bahwa fisika pun belum merupakan suatu konsep yang utuh. Artinya fisika
belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara sistemik, sistematik,
konsisten, dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah yang
disepakati bersama. Di mana terdapat celah-celah perbedaan dalam fisika.
Perbedaannya justru terletak dalam fondasi di mana dibangun teori ilmiah di
atasnya yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya. Dalam analisis secara
mekanistik maka terdapat empat komponen analisis utama yakni zat, gerak, ruang,
dan waktu. Newton dalam bukunya Philosophiae Naturalis Principia Mathematica
(1686) berasumsi bahwa keempat komponen ini bersifat absolut. Zat bersifat
absolut, dengan demikian berbeda secara substantif dengan energi. Einstein, berlainan
dengan Newton, dalam The Special Theory of Relativity (1905) berasumsi
bahwa keempat komponen itu bersifat relatif. Tidak mungkin kita mengukur gerak
secara absolut, kata Einstein. Bahkan zat sendiri itu pun tidak mutlak, hanya
bentuk lain dari energi, dengan rumus yang termasyhur: E=mc2.
Pada awalnya
kausalitas dalam ilmu-ilmu alam menggunakan asumsi determinisme. Namun asumsi
ini goyang ketika Max Planck pada tahun 1900 menemukan teori Quantum. Teori ini
menyatakan bahwa radiasi yang dikeluarkan materi tidak berlangsung secara
konstan namun terpisah-pisah yang dinamakan kuanta. Fisika quantum menunjukkan
adanya partikel-partikel yang melanggar logika hukum fisika dan bergerak secara
tak terduga.
Selanjutnya indeterministik
dalam gejala fisik ini muncul dengan pemenuhan Niels Bohr dalam Prinsip
Komplementer (Principle of Complementary) yang dipublikasikan pada tahun
1913. Prinsip komplementer ini menyatakan bahwa elektron bisa berupa gelombang
cahaya dan bisa juga berupa partikel tergantung dari konteksnya. Masalah ini
yang menggoyahkan sendi-sendi fisika ditambah lagi dengan penemuan Prinsip
Indeterministik (Principle of Indeterminancy) oleh Werner Heisenberg
pada tahun 1927. Heisenberg menyatakan bahwa untuk pasangan besaran tertentu
yang disebut conjugate magnitude pada prinsipnya tidak mungkin mengukur
kedua besaran tersebut pada waktu yang sama dengan ketelitian yang tinggi.
Prinsip Indeterministik ini, papar William Barret, menunjukkan bahwa terdapat
limit dalam kemampuan manusia untuk mengetahui dan meramalkan gejala-gejala
fisik.
2.
Asumsi ilmu-ilmu sosial
Masalah
asumsi ini menjadi lebih rumit lagi kalau kita berbicara tentang ilmu ilmu
sosial seperti tercermin dalam anekdot di bawah ini:
Manusia yang neurotik adalah mereka yang membangun
rumah di atas awan
Manusia yang psikotik adalah mereka yang
tinggal di dalamnya
Manusia yang psikiater adalah mereka yang
menagih sewanya
Siapa manusia
itu? jawabnya tergantung pada situasinya: dalam kegiatan ekonomis maka dia
makhluk ekonomi, dalam politik maka dia political animal, dalam
pendidikan maka dia homo educandum. Ilmu-ilmu ini bersifat otonom dalam
bidang pengkajiannya masing-masing dan “berfederasi” dalam satu pendekatan
multidisipliner (jadi bukan “Fusi” dengan penggabungan asumsi yang kacau
balau).
Dalam ilmu
psikologi juga memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang manusia. Setiap
aliran memiliki pandangan yang berbeda tentang apa itu manusia. Aliran
behaviorisme misalnya, menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan
subjektif. Behaviorisme hanya menganalisa perilaku yang nampak saja yang dapat
diukur dilukiskan dan diramalkan. Berbeda dengan behaviorisme, psikoanalisa
memandang manusia sebagai makhluk yang lebih dikuasai oleh alam bawah sadarnya.
Menurut aliran ini, perilaku manusia dianggap sebagai hasil interaksi sub sistem
dalam kepribadian manusia yaitu id, ego dan super ego. Sedangkan aliran
humanistik, memandang manusia berdasarkan kebutuhan (needs) untuk
mengaktualisasikan dirinya, serta memiliki pandangan bahwa manusia bukanlah
sekedar pelakon tetapi pencari makna kehidupan.
Dan kotak-kotak manusia makin lama makin banyak
dan makin sempit seperti dikatakan Faridudin Attar :
Dan kita membuat peti
Di dalam peti ini…
Apakah kita perlu membuat kotak-kotak ini dan
memberikan pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit? jawabannya adalah
sederhana sekali, sekiranya ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat
analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk
dalam pengalaman manusia, maka pembatasan ini adalah perlu.
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi
diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin
terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih
banyak.
Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektual suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. Mc. Mullin menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektual suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. Mc. Mullin menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
C.
Batas-Batas Penjelajahan Ilmu
Pada saat ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis,
manusia mulai mengambil jarak dari obyek sekitar. Manusia mulai memberikan
batas-batas yang jelas kepada obyek tertentu yang terpisah dengan eksistensi
manusia sebagai subyek yang mengamati dan yang menelaah obyek tersebut. Dalam
menghadapi masalah tertentu, dalam tahap ontologis manusia mulai menentukan
batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang memungkinkan manusia mengenal
wujud masalah itu, untuk kemudian menelaah dan mencari pemecahan jawabannya.
Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut, ilmu mencari penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dapat mengerti hakikat permasalahan yang dihadapi itu. Dalam hal ini ilmu menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah yang bersifat konkret yang terdapat dalam dunia nyata.
Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut, ilmu mencari penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dapat mengerti hakikat permasalahan yang dihadapi itu. Dalam hal ini ilmu menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah yang bersifat konkret yang terdapat dalam dunia nyata.
Secara ontologis, ilmu membatasi masalah yang
dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkauan pengalaman
manusia. Ilmu memulai penjelajahannya pada
pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Pembatasan ini
disebabkan karena fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia yakni sebagai
alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya
sehari-hari. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita tanyakan kepada
ilmu, melainkan kepada agama. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga
dan neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya
manusia, sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia.
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman
manusia yang juga disebabkan pada metode yang dipergunakan dalam menyusun
materi uji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di
luar batas pengalaman empirisnya, maka itu akan membuat suatu kontradiksi yang
akan menghilangkan kesahihan metode ilmiah.
Ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu
pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral,
tentang indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik. Ruang penjelajahan
keilmuan kemudian di‘kapling-kapling’kan
dalam berbagai displin keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai
dengan perkembangan kuantitatif displin keilmuan. Kalau pada fase permualaan
hanya terdapat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka sekarang ini terdapat
lebih dari 650 cabang keilmuan. Ilmu murni
merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis yang
belum dikaitkan dengan masalah kehidupan yang bersifat praktis. Ilmu terapan
merupakan aplikasi ilmu murni kepada masalah-masalah kehidupan yang mempunyai
manfaat praktis.
Ruang penjelajahan keilmuan kemudian menjadi
cabang-cabang ilmu. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari
dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian berkembang menjadi rumpun
ilmu-ilmu alam dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang
ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu alam dibagi lagi menjadi ilmu alam dan ilmu hayat. Ilmu
alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan ilmu alam
kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia
(mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit), dan
ilmu bumi.Tiap-tiap cabang kemudian membuat ranting-ranting baru seperti fisika
berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan
dan magnetism, fisika nuklir dan kimia fisik. Sampai tahap ini maka kelompok
ilmu tersebut masih termasuk dalam ilmu-ilmu murni. Ilmu-ilmu murni kemudian
berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan, seperti contoh dibawah ini:
ILMU MURNI
|
ILMU TERAPAN
|
Mekanika
|
Mekanika Teknik
|
Hidrodinamika
|
Teknik Aeronautikal/Teknik & Desain Kapal
|
Bunyi
|
Teknik Akustik
|
Cahaya dan Optik
|
Teknik Iluminasi
|
Kelistrikan/Magnetisme
|
Teknik Elektro/Teknik Kelistrikan
|
Fisika Nuklir
|
Teknik Nuklir
|
Ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan dengan ilmu alam. Cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi
(mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari
proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam
memenuhi kebutuhannya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur
organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses
dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).
Cabang utama ilmu-ilmu sosial yang lainnya
mempunyai cabang-cabang lagi seperti antropologi terpecah menjadi lima yakni,
arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi dan antropologi
sosial/kultural, semua itu kita golongkan ke dalam ilmu murni meskipun tidak
sepenuhnya. Contoh lain misalnya ilmu psikologi yang juga terbagi menjadi
beberapa cabang. Pembagian ini terjadi dengan tujuan agar dicapainya pemahaman
yang lebih baik ketika psikologi dipelajari dan diterapkan dalam cabang ilmu lain.
Pembagian tersebut meliputi:
1.
Clinical Psychology: fokus dari cabang ilmu ini adalah penilaian dan perawatan
yang tepat terhadap penyakit mental dan perilaku abnormal.
2.
Developmental Psychology: cabang ilmu ini terfokus terhadap perkembangan manusia
semenjak lahir hingga mati. Perhatian juga difokuskan terhadap hal-hal yang
berubah, tetap, ataupun yang memburuk. Juga fokusnya termasuk terhadap
perkembangan dan perubahan yang berlanjut, atau yang berkaitan dengan umur dan
tingkat hidup manusia.
3.
Educational Psychology: cabang ilmu ini terfokus pada belajar, mengingat,
mempertunjukkan, dan mendapatkan ilmu. Educational psychology juga
termasuk efek-efek dari perbedaan individu, pelajar berbakat, dan
ketidakmampuan dalam belajar.
4.
Industrial-Organizational Psychology: cabang ilmu ini melingkupi psikologi teoritis
terhadap tempat kerja. Tujuan dari cabang ilmu ini adalah peningkatan
kepuasaan, performa, produktifitas dan kesesuaian posisi dengan ketrampilan
pekerja. Keterkaitannya yang lainnya juga termasuk dinamika kelompok, dan
perkembangan dari kemampuan memimpin.
5.
Social Psychology: Cabang ilmu ini meliputi penelitian terhadap tingkah laku
grup, norma sosial, kecocokan, prasangka, perilaku nonverbal / bahasa tubuh,
dan perilaku kasar manusia.
6.
Abnormal Psychology: cabang ilmu psikologi ini menggali lebih jauh tentang
penyakit kejiwaan dan perilaku abnormal, seperti: depresi, OCD, perilaku seks
menyimpang dan perilaku menyendiri.
7.
Biopsychology: cabang ilmu ini mempelajari tentang fungsi otak dan syaraf
dalam pengaruhnya terhadap perasaan dan perilaku. Biopsychology
menggabungkan neuroscience dan ilmu dasar psikologi.
8.
Cognitive Psychology: cabang ilmu ini terfokus pada persepsi dan proses mental.
Contohnya adalah: fokus pada “bagaimana orang berpikir dan memproses pengalaman
dan kejadian tertentu, termasuk di dalamnya refleks dan dasar kepercayaannya”.
Juga didalamnya termasuk “bagaimana mereka belajar, menghapal, dan mengingat
kembali sebuah informasi”.
9.
Comparative Psychology: cabang ilmu ini mempelajari tentang perilaku hewan. Comparative
psychology sangat berkaitan erat dengan biologists, ecologists,
anthropologists, dan geneticists.
10. Counselling
Psychology: dalam cabang ilmu
ini, fokusnya adalah penyediaan terapi intervensi kepada klien yang sedang
berjuang dengan masalah mental, sosial, dan perilaku. Counselling psychology
juga memperhatikan cara-cara hidup yang baik, dengan tujuan agar orang mampu
mencapai potensi maksimal mereka dalam hidupnya.
11. Experimental
Psychology: walaupun
psikologi menekankan pada pentingnya metode ilmiah, pelaksanaan proses
pendesainan, dan pengimplementasian dari teknik-teknik ekperimental, dan
kemudian menganalisa dan menginterpretasi hasil merupakan tugas utama dari eksperimental
psikolog. Psikologi ini bekerja dalam ruang lingkup dan latar belakang yang
luas, termasuk sekolah, kampus, universitas, laboratorium, organisasi
pemerintah, dan bisnis pribadi.
12. Forensic Psychology: psikologi dan hukum bersinggungan pada cabang
ilmu ini. Ini merupakan cabang ilmu yang para psikolog (semisal psikolog
klinis, ahli syaraf, psikolog konseling, dan lain-lain) berbagi kepintaran
profesionalnya dalam kasus legal maupun kriminal.
13. Health Psychology: cabang ilmu ini menganjurkan kesehatan fisik, mental, dan emosional, termasuk strategi
pencegahan dan pengobatan. Cabang ilmu ini terfokus terhadap bagaimana orang
berhadapan dengan stress, dan mengatasi dan memulihkan diri dari penyakit.
14. Human Factors
Psychology: cabang ilmu
memayungi berbagai kategori, yang meliputi ergonomi, keselamatan tempat kerja,
kesalahan manusia, desain produk, dan interaksi-interaksi antara mesin.
15. Sports Psychology: cabang ilmu ini menyelidiki tentang bagaimana
meningkatkan dan mempertahankan motivasi, faktor yang berperan dalam puncak
perfoma, dan bagaimana menjadi aktif dapat meningkatkan taraf hidup kita.
Banyak sekali konsep ilmu-ilmu sosial “murni”
dapat diterapkan langsung kepada kehidupan praktis, ekonomi umpamanya, meminjam
perkataan Paul Samuelson, merupakan ilmu yang beruntung (Fortunate)
karena dapat diterapkan langsung kepada kebijaksanaan umum (public policy).
Di samping ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial,
pengetahuan mencakup juga humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari
seni, filsafat, agama, bahasa dan sejarah. Matematika bukan merupakan ilmu,
melainkan cara berpikir deduktif. Matematika merupakan sarana yang penting
dalam kegiatan berbagai disiplin keilmuan, mencakup antara lain, geometri,
teori bilangan, aljabar, trigonometri, geometri analitik, persamaan
diferensial, kalkulus, topologi, geometri non-Euclid, teori fungsi,
probabilitas dan statistika, logika dan logika matematika.
D.
Kesimpulan
1.
Pengertian
peluang yaitu: (1) Kesempatan; (2) Ruang gerak, baik yang konkret maupun yang abstrak,
yang memberikan kemungkinan bagi suatu kegiatan untuk memanfaatkannya dalam
usaha mencapai tujuan.
2.
Peluang
dinyatakan dari angka 0 sampai 1. Angka 0 menyatakan bahwa suatu kejadian itu
tidak mungkin terjadi. Dan angka 1 menyatakan bahwa sesuatu itu pasti terjadi.
3.
Ilmu-ilmu bersifat otonom dalam bidang pengkajiannya
masing-masing dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan multidisipliner. (jadi
bukan “fusi” dengan penggabungan asumsi yang kacau balau).
4.
Dalam mengembangkan asumsi ini, maka harus diperhatikan
beberapa hal:
a.
Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian
disiplin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari
pengkajian teoritis.
b.
Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana
adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”.
5.
Ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang
terdapat pada ruang jangkauan pengalaman manusia. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia
dan berhenti di batas pengalaman manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Alwi, Hasan. (2007).
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Anonim. (2012).
What are the Different Branches of Psychology?. November 13, 2012. http://onlinecounsellingcollege.tumblr.com/post/35658095116/what-are-the-different-branches-of-psychology
Kattsoff, Louis
O. (1995). Pengantar Filsafat, penerjemah Seojono Soemargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana
Suriasumantri, Jujun S, (1998) . Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Popular. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar