Sabtu, 27 Oktober 2012

KODE ETIK PSIKOLOGI: PSIKOLOGI AGAMA


KASUS
Sebut saja JM adalah seorang pengusaha muda yang sukses. Hidup JM dapat dikatakan mendekati sempurna ketika suatu hari dirinya menyadari akan suatu hal, yakni kekurangannya ialah berada pada orientasi seksual yang menyimpang. JM mencoba menyembunyikan hal ini dari keluarga dan masyarakat. JM pun berulangkali mencoba untuk menyukai seorang perempuan, namun sekuat apa pun JM berusaha melawan orientasi seksualnya yang menyimpang, tetap tidak dapat merubah apapun. JM mulai merasa depresi dan putus asa. JM selalu berpikir mengapa ia diciptakan seperti ini. JM pun memutuskan untuk memerima dirinya sebagai seorang homoseks.
JM kemudian mendatangi seorang psikolog untuk membantu dirinya agar dapat hidup dengan tenang dalam keadaan seperti ini. Dimana tanpa sepengetahuan JM, si psikolog adalah tokoh agamawan ternama di lingkungannya. Dalam pandangan agama hal ini jelas sekali salah. Si psikolog merasa dilema.
Pertanyaan:
Apa yang harus dilakukan psikolog dalam masalah ini? Menentang perilaku tersebut? Atau melindungi klien dengan menyembunyikan identitasnya sepanjang hidupnya? Kaitkan dengan pasal-pasal dan ayat-ayat yang terdapat dalam kode etik psikologi!


Pembahasan:
Dalam kasus ini psikolog diharapkan tetap dapat menjaga kerahasiaan data dari klien. Psikolog harus mampu bertindak sebagai seorang psikolog yang profesional dengan mengesampingkan pendapat subjektifnya untuk tetap mampu objektif dalam menangani klien. Sebagaimana pasal 17 kode etik psikologi indonesia mengenai konflik kepentingan yang menyatakan bahwa: “Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari melakukan peran profesional apabila kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial, kepentingan atau hubungan lain diperkirakan akan merusak objektivitas, kompetensi, atau efektivitas mereka dalam menjalankan fungsi sebagai Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi atau berdampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan pengguna layanan psikologi tersebut”.
Selain itu psikolog harus menghormati harkat dan martabat manusia, seorang psikolo yang profesional harus menghormati hak-hak individu, keleluasaan individu, kerahasiaan dan pilihan pribadi seseorang. Sebagaimana dinyatakan dalam bab II pasal 2A ayat 1-5 tentang penghormatan harkat dan martabat manusia sebagai berikut:
1.      Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menekankan pada hak asasi manusia dalam melaksanakan layanan psikologi.
2.      Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menghormati martabat setiap orang serta hak-hak individu akan keleluasaan pribadi, kerahasiaan dan pilihan pribadi seseorang.
3.      Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa diperlukan kehati-hatian khusus untuk melindungi hak dan kesejahteraan individu atau komunitas yang karena keterbatasan yang ada dapat mempengaruhi otonomi dalam pengambilan keputusan.
4.      Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari dan menghormati perbedaan budaya, individu dan peran, termasuk usia, gender, identitas gender, ras, suku bangsa, budaya, asal ke- bangsaan, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), bahasa dan status sosialekonomi, serta mempertimbangkan faktor-faktor tersebut pada saat bekerja dengan orang-orang dari kelompok tersebut.
5.      Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha untuk menghilangkan pengaruh bias
faktorfaktor tersebut pada butir (3) dan menghindari keterlibatan baik yang disadari maupun tidak disadari dalam aktifitas-aktifitas yang didasari oleh prasangka.

Jika memang terpaksa diperlukan untuk suatu tujuan tertentu, misalnya untuk tujuan pendidikan atau tujuan lain maka data tentang klien tersebut bisa disampaikan sebagaimana adanya namun dengan menyamarkan nama orang atau identitas dari klien. Hal tersebut sesuai dengan pasal 27 mengenai Pemanfaatan Informasi dan Hasil Pemeriksaan Psikologi untuk Tujuan Pendidikan atau Tujuan Lain.
(1)   Pemanfaatan untuk Tujuan Pendidikan
Data dan informasi hasil layanan psikologi bila diperlukan untuk kepentingan pendidikan, data harus disajikan sebagaimana adanya dengan menyamarkan nama orang atau lembaga yang datanya digunakan.

Dalam memberikan layanan psikologi seorang psikolog harus berusaha untuk tidak mengganggu kehidupan psibadi klien, kalaupun diperlukan diusahakan seminimal mungkin. Penyampaian laporan status pemeriksaan psikologi juga harus sesuai dengan kesepakatan dan perjanjian yang telah dibuat. Jadi psikolog tidak boleh seenaknya saja ikut campur dalam kehidupan psibadi klien tanpa seizin dari klien. Penyampaian laoprannya pun juga harus sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pasal 25 mengenai Mendiskusikan Batasan Kerahasiaan Data kepada Pengguna Layanan Psikologi, ayat 1 b, c:
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan tugasnya harus berusaha untuk tidak mengganggu kehidupan pribadi pengguna layanan psikologi, kalaupun diperlukan harus diusahakan seminimal mungkin.
c) Dalam hal diperlukan laporan hasil pemeriksaan psikologi, maka Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi hanya memberikan laporan, baik lisan maupun tertulis; sebatas perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat.

Informasi mengenai klien dapat dikomunikasikan secara bijaksana kepada pihak ketiga hanya jika informasi tersebut diperlukan untuk pengguna layanan psikologi, profesi dan akademisi dengan tetap menjaga kerahasiaan identitas klien. Hal tersebut sesuai dengan pasal 24 (c) tentang mempertahankan kerahasiaan data sebagai berikut:
c) Dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan pengguna layanan psikologi profesi, dan akademisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar