Selasa, 29 November 2011

PERNIKAHAN DAN KELUARGA

Keintiman biasanya menuntut perkembangan seksual yang mengarah pada perkembangan seksual dengan lawan jenis yang dicintai. Biasanya hubungan seksual dan keintiman pada masa dewasa awal diperoleh dalam lembaga pernikahan. Meskipun konsep pernikahan setiap bangsa tidak sama, namun hampri semua budaya enganggap bahwa pernikahan adalah sesuatu yang bersifat suci dan dibutuhkan dalam kehidupan ini.  Dalam suatu studi membuktikan bahwa laki-laki cenderung lebih cepat jatuh cinta dari pada perempuan dan merasa puas dengan calon pasangan mereka. Berbeda dengan perempuan yang lebih praktis dan berhati-hati dalam menentukan pasangan dan lebih mungkin untuk membandingkan calon pasangannya dengan calon alternatif lainnya. Dipandang dari sudut tradisi perkawinan menuntut perubahan gaya hidup yang lebih besar pada perempuan dibanding laki-laki. Perubahan gaya hidup ini tidak jarang menjadi pemicu problema dalam perkawinan. Faktor-faktor problema perkawinan antara lain:
  • ·        Pasangan gagal mempertemukan dan menyesuaikan kebutuhan dan harapan satu sama lain.
  • ·   Salah satu pasangan mengalami sulit menerima perbedaan-perbedaan nyata dalam kebiasaan kebutuhan, pendapat, kerugian dan nilai. (terutama masalah keuangan dan anak-anak)
  • ·    Adanya perasaan cemburu dan perasaan memiliki yang berlebihan, membuat masing-masing pasangan merasa terkekang.
  • ·         Pembagian wewenang tugas yang tidak adil.
  • ·         Kegagalan dalam berkomunikasi.
  •    Masing-masing pasangan tumbuh dan berkembang ke arah yang berbeda. (Davidoff,1988).

Myers menjelaskan bahwa ikatan cinta akan lebih menyenangkan dan langgeng apabila didasarkan pada persamaan minat dan nilai, saling berbagi perasaan dan dukungan materi serta keterbukaan diri secara intim. Kelanggengan ikatan sebuah perkawinan biasanya juga lebih terjamin jika pasangan menikah setelah berumur diatas 20 tahun dan berpendidikan baik. (Myers, 1996).
Terdapat perbedaan gender dalam kepuasan perkawinan. Umumnya, istri memiliki tingkat kepuasan yang lebih rendah dibandingkan dengan suami. Hal ini terutama dialami ole wanita yang tinggal di ruma atau yang tidak bekerja. Karena mereka mempunyai pilian yang lebih terbatas untuk kepuasan pribadi. Wanita yang merasa puas dalam perkawinannya menempatkan anak sebagai prioritas utama sebagai sumber kepuasan, sedangkan hubungan suami istri menempati prioritas yang rendah. Peneliti Lopata mengatakan bahwa kepuasan wanita berperan sebagai ibu rumah tangga menunjukkan bahwa 38% menyatakan anak sebagai sumber kepuasan dari perannya sebagai ibu rumah tangga, sedangkan suami hanya 9% yang menyukai suami sebagai salah seorang yang memberikan kepuasan. Fakta yang diperoleh Bernand (1973) bahwa anak bukanlah salah satu sumber kepuasan yang utama bagi wanita, ketidakhadiran seorang anak justru mendorong hubungan semakin intim dan perasaan yang semakin kuat antara suami istri.
Thompson dan Walker (1989) mencatat bahwa pernikaan dengan peran ganda memiliki sisi keuntungan dan kerugian. Salah satu keuntungan utama adalah dari segi ekonomi. Pernikaan dengan peran ganda juga dapat memberikan kontribusi pada hubungan yang lebih setara antara suami dan istri, serta meningkatkan harga diri wanita. Namun juga ada kerugiannya yaitu tuntutan adanya waktu dan tenaga ekstra, konflik antara peran pekerjaan dan keluarga, adanya persaingan antara suami dan istri, dan jika keluarga itu memiliki anak-anak, perhatian terhadap mereka lebih berkurang. Wanita karier mangalami konfik peran ganda. Konflik peran wanita ini diantaranya dipengaruhi oleh:
1.      Image wanita tentang dirinya sendiri.
2.      Sudut pandang tentang feminitas.
3.      Pendapat pria tentang wanita karir dan jenis karirnya.
Oleh sebab itu wanita karir dituntut untuk mengurangi tekanan, hambatan, dan konflik tersebut. Wanita karir dituntut melakukan manajemen konflik. Poloma (dalam Fransella & Fost, 1977) teknik manajemen konflik bagi wanita dalam menghadapi tekanan pekerjaannya:
1.      Mendefinisikan situasi secara menyenangkan.
2.      Mengurutkan peran penting.
3.      Compartmentalization – memelihara peran terpisah tersebut dalam konsep dan praktek.
4.      Compromise.
Perkawinan yang bahagia dan langgeng membutuhkan dua orang yang dengan sepenuh hati, mempunyai cukup ketrampilan dalam mengadapi dan mengatasi konflik peran dan setiap problem yang timbul. Selain itu, kemampuan keduan pasangan tersebut untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya secara efektif serta kemampuan mengatasi stress secara konstruktif juga mempunyai kaitan yang erat dengan perkawinan yang stabil.
Siklus Kehidupan Keluarga
No.
Tahap siklus kehidupan keluarga
Proses emoisonal dari transisi: prinsip-prinsip pokok
Perubahan dalam status keluarga memerlukan proses yang terus berkembang
1.
Meninggalkan rumah: orang dewasa muda hidup sendiri
Menerima tanggung jawab emosional dan keuangan bagi diri sendiri.
a.       Pembedaan diri dalam kaitannya dengan keluarga asal.
b.      Membangun ubungan sebaya yang intim.
c.       Memantapkan diri dalam hubungannya dengan pekerjaan dan kemandirian keuangan.
2.
Penggabungan keluarga melalui pernikahan: pasangan baru
Komitmen pada sistem yang baru.
a.       Pembentukkan sistem pernikaan.
b.      Penyusunan kembali hubungan dengan keluarga jauh dan teman untuk melibatkan pasangan.
3.
Menjadi orang tua dan keluarga dengan anak.
Menerima anggota baru kedalam sistem tersebut.
a.       Menyesuaikan sistem pernikaan untuk memberi ruang bagi anak.
b.      Ikut merawat anak, keuangan dan tugas ruma tangga.
c.       Penyusunan kembali hubungankeluarga jauh termasuk peran menjadi orang tua dan peran menjadi kakek nenek.
4.
Keluarga dengan anak remaja
Meningkatkan fleksibilitas batas-batas keluarga untuk mencakup kemandirian anak dan kelemaan kakek nenek
a.       Perubahan hubungan orang tua anak untuk mengijinkan remaja masuk keluar dari sistem.
b.      Memfokuskan kembali pada masalah pernikaan di usia baya dan karier.
c.       Perubahahn awal menuju perawatan bersama untuk generasi yang lebih tua.
5.
Keluarga pada kehidupan usia tengah baya
Menerima keluar dan masuknya anggota kedalam sistem keluarga
a.       Memeliara fungsi sistem pernikaan sebagai sebua pasangan.
b.      Membangun hubungan orang dewasa dengan orang dewasa antara anak yang tela dewasa dengan orang tua.
c.       Menghadapi ketidakmampuan dan kematian orang tua (kakek nenek).
6.
Keluarga pada kehidupan usia lanjut
Menerima pergeseran peran antar generasi
a.       Memeliara fungsin diri sendiri atau pasangan menghadapi menurunnya kondisi fisik; mengeksplorasi pilian peran keluarga dan sosial yang baru.
b.      Mendukung peran generasi tengah yang memainkan peran yang lebi utama.
c.       Memberi ruang dalam sistem bagi kebijaksanaan dan pengalaman dari orang tua, mendukung generasi yang lebi tua tanpa berlebihan.
d.      Menghadapi kehilangan pasangan. Saudara sebaya dan yang lain serta menyiapkan diri untuk kematian diri sendiri. Menjalani hidup dan integrasi.


Kecenderungan dalam pernikahan
            Perubahan norma kesejajaran laki-laki dan perempuandalam pernikaan tela menghasilkan hubungan pernikahan yang lebih rapuh dan intensdari pada yang ada diawal abad 20. Banyak orang dewasa yang tetap membujang lebih lama pada 1990-an dan lama rata-rata satu pernikahan di Amerika sekarang hanya kurang dari 9 tahun. Meskipun orang dewasa yang tetap hidup sendiri lebih lama dan tingkat perceraian tinggi, kita masih menunjukkan keinginan yang tinggi untuk menikah. Usia di mana seorang menikah, harapan tentang bagaimana seharusnya pernikahan itu, dan perjalanan perkembangan pernikahan mungkin berbeda-beda tidak hanya diantara berbagai waktu sejarah dalam satu kebudayaan tertentu, tetapi juga diantara kebudayaan-kebudayaan.
Harapan dan Mitos
            Harapan yang tidak realistik dan mitos tentang pernikahan berkontribusi pada ketidakpuasan dan perceraian.
Gender, Keintiman, dan Pekerjaan Rumah Tangga dalam Pernikahan
            Keluhan umum yang disampaikan perempuan dalam suatu pernikahan adalah bahwa suami mereka tidak peduli pada kehidupan emosional mereka dan tidak mengekspresikan perasaan dan pikiran mereka sendiri (Rubin, 1984). Secara umum, perempaun lebih ekspresif dan berperasaan daripada laki-laki dalam pernikahan, dan perbedaan ini menggangu banyak perempuan. Tidak hanya terdapat perbedaan gender dalam masalah keintiman dalam pernikahan, tetapi juga dapat perbedaan gender yang kuat dalam pekerjaan rumah tangga. Istri biasanya melakukan pekerjaan rumah tangga lebih banyak daripada suami (Warner, 1986). Sebagian besar perempuan dan laki-laki setuju bahwa perempuan seharusnya bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan laki-laki seharusnya membantu (Szinovacz, 1984). Dalam suatu penelitian, hanya 10% suami yang melakukan pekerjaan rumah tangga sebanyak istri mereka (Berk, 1985).
            Sebagian besar perempuan melihat pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang tidak menggunakan otak tetapi sangat penting bagi orang yang mereka cintai. Dan sebagian besar perempuan seringkali menikmati merawat kebutuhan orang yang mereka cintai dan menjaga agar aktivitas keluarga terus berlangsung, meskipun bagi mereka kegiatan tersebut tidak menyenangkan dan tidak memenuhi kebutuhan mereka. Perempuan merasakan pekerjaan rumah tangga secara positif maupun negatif. Mereka tidak diawasi dan tidak dikritik, mereka merencanakan dan mengontrol pekerjaan mereka sendiri, dan mereka hanya mempunyai standar mereka sendiri untuk dipenuhi. Namun demikian, pekerjaan rumah tangga bagi perempuan sering membuat khawatir, melelahkankan, hina, berulang-ulang, terisolasi, tidak pernah selesai, tak dapat dihindari, dan tidak dihargai. Maka tidak heran bila banyak perempuan yang memiliki perasaan bercampur aduk terhadap pekerjaan rumah tangga.
Peran sebagai Orang Tua
            Kebutuahan dan harapan orang tua telah menstimulasi banyak mitos tentang menjadi orang tua (Okun & Rappaport, 1980):
·        Kelahiran seorang anak akan menyelamatkan pernikahan yang gagal
·        Sebagai milik atau perluasan dari orang tua, anak akan berpikir, merasa, dan berperilaku seperti orang tuanya semasa menjadi anak-anak
·        Anak-anak akan merawat orang tua di masa tuanya
·        Orang tua dapat mengharapkan penghormatan dan mendapatkan kepatuhan dari anak-anak mereka
·        Memiliki anak berarti orang tua akan selalu memiliki seseorang yang mencintai mereka dan menjadi teaman terbaik mereka
·        Memiliki anak memberikan “kesempatan kedua” kepada orang tua untuk mencapai apa yang seharusnya mereka capai
·        Jika orang tua mempelajari teknik yang benar, mereka dapat membentuk anak mereka sesuai dengan keinginan mereka
·        Adalah kesalahan orang tua jika anak gagal
·        Ibu secara alami adalah orang tua yang lebih baik daripada ayah
·        Menjadi orang tua adalah naluri dan tidak memerlukan latihan.

REFERENSI
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Paplia, Diane E. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta: Kencana
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development Perkembangan Masa hidup. Jakarta: Erlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar