Menurut Erik
Erickson, keintiman biasanya
menuntut perkembangan seksual yang mengarah pada hubungan seksual dengan lawan
jenis yang dicintai. Bahaya dari tidak tercapainya keintiman selama tahap ini
adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari berhubungan secara intim dengan
orang lain, kecuali dalam lingkup yang amat terbatas. Sebagian besar golongan dewasa awal telah menyelesaikan pendidikan sampai
taraf universitas dan kemudian mereka segera memasuki jenjang karier dalam
pekerjaannya. Kehidupan psikososial dewasa awal makin kompleks dibandingkan
dengan masa remaja karena selain bekerja, mereka akan memasuki kehidupan
pernikahan, membentuk keluarga baru, memelihara anak-anak, dan orangtua yang
makin tua.
Selain itu, dewasa awal mulai membentuk kehidupan
keluarga dengan pasangan hidupnya, yang telah dibina sejak masa remaja / masa
sebelumnya. Havighurst (Turner dan Helms, 1995}
mengemukakan tugas-tugas perkembangan dewasa awal, di antaranya:
1.
Mencari dan Menemukan Calon Pasangan Hidup
Setelah melewati masa remaja, golongan dewasa muda semakin memiliki
kematangan fisiologis (seksual) sehingga mereka siap melakukan tugas
reproduksi,yaitu mampu melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya, asalkan
memenuhi persyaratan yang sah(perkawinan resmi).
PERKEMBANGAN KEINTIMAN
Keintiman dapat diartikan
sebagai suatu kemampuan memperhatikan orang lain dan membagi pengalaman dengan
mereka. Orang yang tidak dapat menjalin hubungan intim dengan orang lain akan
terisolasi. Menurut Ericson, pembentukan hubungan intim ini merupakan tantangan
utama yang dihadapi oleh orang yang memasuki masa dewasa. Pada masa dewasa awal
ini, orang-orang telah siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang
lain. Mereka mendambakan hubungan-hubungan yang intim-akrab, dilandasi rasa
persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi
komitmen-komitmen ini sekalipun mereka mungkin harus berkorban untuk itu. Dalam
suatu studi ditunjukkan bahwa hubungan intim mempunyai pengaruh yang besar
terhadap perkembangan psikologis dan fisik seseorang. Orang-orang yang
mempunyai tempat untuk berbagi ide, perasaan dan masalah, mereka lebih bahagia
dan lebih sehat dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki tempat untuk
berbagi (Traupmann dan Hatfield,
1981).
CINTA
Selama tahap perkembangan
keintiman ini, nilai-nilai cinta muncul. Cinta mengacu pada perilaku manusia
yang sangat luas dan kompleks. Menurut Santrock
(1995), cinta dapat diklasifikasikan menjadi empat bentuk cinta, yaitu:
Altruisme, persahabatan, cinta yang romantik atau bergairah, dan cinta yang penuh
perasaan atau persahabatan. Meskipun cinta sudah tampak dalam
tahap-tahap sebelumnya (seperti cinta bayi pada ibunya dan cinta birahi pada
remaja), namun perkembangan cinta dan keintiman sejati baru muncul setelah
seseorang memasuki masa dewasa. Pada
masa ini, perasaan cinta lebih dari sekedar gairah atau romantisme, melainkan
suatu afeksi-cinta yang penuh perasaan dan kasih sayang. Cinta pada orang
dewasa ini diungkapkan dalam bentuk kepedulian terhadap orang lain. Orang-orang
dewasa awal lebih mampu melibatkan diri dalam hubungan melainkan suatu
afeksi-cinta yang penuh perasaan dan kasih sayang. Cinta pada orang dewasa ini
diungkapkan dalam bentuk kepedulian terhadap orang lain. Orang-orang dewasa
awal lebih mampu melibatkan diri dalam hubungan bersama, dimana mereka saling
berbagi hidup dengan seorang mitra yang intim.
Sehubungan dengan cinta
yang penuh afeksi ini, Robert
J.Sternberg, 1993 (Dalam Santrock, 1995) mengemukakan sebuah teori cinta
yang dikenal dengan “The Triangular theory of love” (teori cinta triangular),
yang menyatakan bahwa cinta memiliki 3 bentuk utama, yaitu :
- Gairah, Cinta
lebih didasarkan atas daya tarik fisik dan seksual pada pasangan
- Keintiman, cinta
yang lebih didasarkan pada perasaan emosional tentang kehangatan, kedekatan dan
berbagi dalam hubungan.
- Komitmen, cinta
yang lebih didasarkan pada penilaian kognitif kita atas hubungan dan niat kita
untuk mempertahankan hubungan, bahkan ketika menghadapi masalah sekalipun.
Sternberg mengemukakan bahwa jika
dalam hubungan hanya ada gairah, tanpa disertai dengan keintiman dan komitmen,
maka yang terjadi hanyalah nafsu.
Jika suatu hubungan
mempunyai keintiman dan komitmen, tetapi sedikit gairah atau bahkan tidak ada,
maka terjadilah cinta yang penuh afeksi atau kebersamaan. Pola ini sering
ditemukan pada pasangan bahagia yang telah membina hubungan rumah tangga
bertahun-tahun lamanya. Akan tetapi, jika yang ada hanya gairah dan komitmen
tanpa disertai dengan keintiman, hubungan itu disebut Sternberg sebagai
“fatuous love”(cinta konyol). Oleh karena itu, tipe yang paling kuat disebut
sebagai “consummate love” (cinta yang sempurna) hanya akan terbentuk jika
dilandasi oleh ketiga komponen cinta (gairah, keintiman, dan komitmen) tersebut.
2. Membina Kehidupan Rumah Tangga
Papalia, Olds, dan Feldman (1998;
2001} menyatakan bahwa golongan dewasa awal berkisar antara 21-40 tahun. Masa
ini dianggap sebagai rentang yang cukup panjang, yaitu dua puluh tahun.
Terlepas dari panjang atau pendek rentang waktu tersebut, golongan dewasa awal
yang berusia di atas 25 tahun, umumnya telah menyelesaikan pendidikannya
minimal setingkat SLTA (SMU-Sekolah Menengah Umum), akademi atau universitas.
Selain itu, sebagian besar dari mereka yang telah menyelesaikan pendidikan,
umumnya telah memasuki dunia pekerjaan guna meraih karier tertinggi. Dari sini,
mereka mempersiapkan dan membukukan diri bahwa mereka sudah mandiri secara
ekonomis, artinya sudah tidak bergantung lagi pada orangtua. Sikap yang mandiri
ini merupakan langkah positif bagi mereka karena sekaligus dijadikan sebagai
persiapan untuk memasuki kehidupan rumah tangga yang baru. Namun, lebih dari
itu, mereka juga harus dapat membentuk, membina, dan mengembangkan kehidupan
rumah tangga dengan sebaik-baiknya agar dapat mencapai kebahagiaan hidup.
Mereka harus dapat menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan pasangan hidup
masing-masing. Mereka juga harus dapat melahirkan, membesarkan, mendidik, dan
membina anak-anak dalam keluarga. Selain itu, tetap menjalin hubungan baik
dengan kedua orang tua ataupun saudara-saudara.
PERNIKAHAN DAN KELUARGA
Dihampir
setiap masyarakat, hubungan seksual dan keintiman pada masa dewasa awal ini
diperoleh melalui lembaga pernikahan atau perkawinan. Penelitian Rubbin (1973) menunjukkan hampir 95%
orang Amerika menikah, dan sebagian besar dari mereka menikah pada awal masa
dewasa. Setiap individu cenderung mencari pasangan hidup yang mempunyai latar
belakang etnik, sosial, dan agama yang sama.
Myers menjelaskan bahwa ikatan cinta akan
lebih menyenangkan dan langgeng apabila didasarkan pada persamaan minat dan
nilai, saling berbagi perasaan dan dukungan materi, serta keterbukaan diri
secara intim. Kelanggengan sebuah ikatan perkawinan biasanya juga lebih
terjamin apabila masing-masing pasangan menikah setelah berumur diatas 20 tahun
dan berpendidikan baik (Myers, 1996).
Terdapat
perbedaan gender dalam hal kepuasan perkawinan. Pada umumnya isteri mempunyai
tingkat kepuasan perkawinan yang lebih rendah dibandingkan suami. Studi Robert R.Bell (1979) menunjukkan bahwa
wanita yang menikah mengalami frustasi, tidak puas dan tidak bahagia yang lebih
besar dibandingkan dengan pria. Akan tetapi, masalah kepuasan dan kebahagiaaan
wanita dalam perkawinannya ternyata tidak sama pada setiap Negara dan
kebudayaan.
Di Jepang,
hasil penelitian Nihon Keizai Shimbun
tahun 1993 menunjukkan 86,2% wanita menyatakan bahwa mereka puas dengan
kehidupan perkawinannya. Kemudian, hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa pada umumnya wanita yang merasa puas dengan
perkawinannya, lebih menempatkan anak sebagai perioritas utama sumber kepuasan,
sedangkan hubungan suami isteri menempati perioritas rendah.
Bagaimanapun
juga, wanita yang bekerja akan mengalami konflik peran. Konflik peran wanita
ini diantaranya dipengaruhi oleh:
1.
Image wanita tentang dirinya sendiri
2.
Sudut pandang wanita tentang feminimitas
3.
Pendapat pria tentang wanita karir dan jenis karirnya.
Oleh karena itu, untuk
megurangi tekanan, hambatan, dan konflik tersebut, wanita karir dituntut untuk
melakukan managemen konflik. Poloma
(dalam Fransella dan Frost, 1977) menyebutkan sejumlah tehnik managemen konflik
bagi wanita dalam menghadapi berbagai tekanan pekerjaannya, yaitu:
1.
Mendefinisikan situasi secara menyenangkan, contohnya:
berkata pada dirinya sendiri bahwa “saya menjadi seorang ibu yang lebih baik
karena saya bekerja”.
2.
Mengurutkan peran terpenting, Contoh: memprioritaskan
kebutuhan keluarga sebagai kebutuhan yang utama dan pertama.
3.
“compartmentalization”-memelihara peran terpisah tersebut
dalam konsep dan praktek.
4.
“compromise”-contohnya: memilah-milah urusan karir
tertentu yang tidak perlu dan menyesuaikannya dengan berbagai tuntutan atau
kebutuhan.
KEGAGALAN
DALAM PERKAWINAN
Dalam penelitian Elizabeth Douvan dan teman-temannya,
dilaporkan bahwa hampir 60% pria dan wanita dari seluruh partisipan mengaku
bahwa kadang-kadang mereka mengalami berbagai problem dalam kehidupan
perkawinan mereka. Problem-problem perkawinan ini muncul disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya:
1.
Pasangan gagal mempertemukan dan menyesuaikan kebutuhan
dan harapan satu sama lain.
2.
Salah satu pasangan mengalami kesulitan menerima
perbedaan-perbedaan nyata dalam kebiasaan kebutuhan, pendapat, kerugian, dan
nilai. Problem yang paling mencolok adalah masalah keuangan dan masalah
anak-anak.
3.
Adanya perasaan cemburu dan perasaan memiliki yang
berlebihan, membuat masing-masing merasa kurang mendapat kebebasan.
4.
Pembagian tugas dan wewenang yang tidak adil
5.
Kegagalan dalam berkomunikasi
6.
Masing-masing pasangan tumbuh dan berkembang kearah yang
berbeda, tidak sejalan mencari minat dan tujuan sendiri-sendiri. (Davidoff,
1988).
Thompson
Dan Walker (1989)
mencatat bahwa pernikahan dengan peran ganda memiliki sisi-sisi keuntungan dan
sisi-sisi kerugian bagi individu.
-
Keuntungan: keuangan, dapat memberika konstribusi pada
hubungan yang lebih setara antara suami dan isteri, serta meningkatkan harga
diri bagi wanita.
-
Kerugian: tuntutan adanya waktu dan tenaga ekstra,
konflik antara peran pekerjaan dan peran keluarga, adanya persaingan antara
suami dan isteri, perhatian terhadap anak-anak menjadi lebih berkurang.
3.
Meniti Karier dalam
Rangka Memantapkan Kehidupan Ekonomi Rumah Tangga
Usai menyelesaikan pendidikan formal
setingkat SMU, akademi atau universitas, umumnya dewasa muda memasuki dunia
kerja, guna menerapkan ilmu dan keahliannya. Mereka berupaya menekuni karier
sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki, serta memberi jaminan masa depan
keuangan yang baik. Bila mereka merasa cocok dengan kriteria tersebut, mereka
akan merasa puas dengan pekerjaan dan tempat kerja. Sebalik-nya, bila tidak
atau belum cocok antara minat/ bakat dengan jenis pekerjaan, mereka akan berhenti
dan mencari jenis pekerjaan yang sesuai dengan selera. Tetapi kadang-kadang
ditemukan, meskipun tidak cocok dengan latar belakang ilmu, pekerjaan tersebut
memberi hasil keuangan yang layak {baik), mereka akan bertahan dengan pekerjaan
itu. Sebab dengan penghasilan yang layak (memadai), mereka akan dapat
mem-bangun kehidupan ekonomi rumah tangga yang mantap dan mapan. Masa dewasa
muda adalah masa untuk mencapai puncak prestasi. Dengan semangat yang
menyala-nyala dan penuh idealisme, mereka bekerja keras dan bersaing dengan
teman sebaya (atau kelompok yang lebih tua) untuk menunjukkan prestasi kerja.
Dengan mencapai prestasi kerja yang terbaik, mereka akan mampu memberi
kehidupan yang makmur-sejahtera bagi keluarganya. melakukan tugas reproduksi,
yaitu mampu melakukan hubung-an seksual dengan lawan jenisnya, asalkan memenuhi
persyarat-an yang sah (perkawinan resmi). Untuk sementara waktu, dorongan
biologis tersebut, mungkin akan ditahan terlebih dahulu. Mereka akan berupaya
mencari calon teman hidup yang cocok untuk dijadikan pasangan dalam perkawinan
ataupun untuk membentuk kehidupan rumah tangga berikutnya. Mereka akan
menentukan kriteria usia, pendidikan, pekerjaan, atau suku bangsa tertentu,
sebagai prasyarat pasangan hidupnya. Setiap orang mempunyai kriteria yang
berbeda-beda.
4.
Menjadi Warga Negara
yang Bertanggung Jawab
Warga negara yang baik
adalah dambaan bagi setiap orang yang ingin hidup tenang, damai, dan bahagia di
tengah-tengah masyarakat. Warga negara yang baik adalah warga negara yang taat
dan patuh pada tata aturan perundang-undangan yang ber-laku. Hal ini diwujudkan
dengan cara-cara, seperti (1) mengurus dan memiliki surat-surat kewarganegaraan
(KTP, akta kelahiran, surat paspor/visa bagi yang akan pergi ke luar negeri),
(2) membayar pajak (pajak televisi, telepon, listrik, air. pajak kendaraan
bermotor, pajak penghasilan), (3) menjaga ketertiban dan ke-amanan masyarakat
dengan me×s0 ngendalikan diri agar tidak tercela di mata masyarakat,
dan (4) mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial di masyarakat (ikut
terlibat dalam kegiatan gotong royong, kerja bakti membersihkan selokan,
memper-baiki jalan, dan sebagainya).
Tugas-tugas perkembangan
tersebut merupakan tuntutan yang harus dipenuhi seseorang, sesuai dengan norma
sosial-budaya yang berlaku di masyarakat. Bagi orang tertentu, yang menjalani
ajaran agama mungkin tidak mengikuti tugas perkembangan bagian, yaitu mencari
pasangan hidup dan membina kehidupan rumah tangga. Baik disadari atau tidak,
setiap orang dewasa awal akan melakukan tugas perkembangan tersebut dengan
baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar