Jumat, 16 Mei 2014

Perkembangan Psikososial Masa Dewasa Awal

Menurut Erik Erickson, keintiman biasanya menuntut perkembangan seksual yang mengarah pada hubungan seksual dengan lawan jenis yang dicintai. Bahaya dari tidak tercapainya keintiman selama tahap ini adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari berhubungan secara intim dengan orang lain, kecuali dalam lingkup yang amat terbatas. Sebagian besar golongan dewasa awal telah menyelesaikan pendidikan sampai taraf universitas dan kemudian mereka segera memasuki jenjang karier dalam pekerjaannya. Kehidup­an psikososial dewasa awal makin kompleks dibandingkan dengan masa remaja karena selain bekerja, mereka akan me­masuki kehidupan pernikahan, membentuk keluarga baru, memelihara anak-anak, dan orangtua yang makin tua.
Selain itu, dewasa awal mulai membentuk kehidupan keluarga dengan pasangan hidupnya, yang telah dibina sejak masa remaja / masa sebelumnya. Havighurst (Turner dan Helms, 1995} mengemukakan tugas-tugas perkembangan dewasa awal, di antaranya:
1.    Mencari dan Menemukan Calon Pasangan Hidup
Setelah melewati masa remaja, golongan dewasa muda semakin memiliki kematangan fisiologis (seksual) sehingga mereka siap melakukan tugas reproduksi,yaitu mampu melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya, asalkan memenuhi persyaratan yang sah(perkawinan resmi).
PERKEMBANGAN KEINTIMAN
Keintiman dapat diartikan sebagai suatu kemampuan memperhatikan orang lain dan membagi pengalaman dengan mereka. Orang yang tidak dapat menjalin hubungan intim dengan orang lain akan terisolasi. Menurut Ericson, pembentukan hubungan intim ini merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh orang yang memasuki masa dewasa. Pada masa dewasa awal ini, orang-orang telah siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain. Mereka mendambakan hubungan-hubungan yang intim-akrab, dilandasi rasa persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini sekalipun mereka mungkin harus berkorban untuk itu. Dalam suatu studi ditunjukkan bahwa hubungan intim mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan psikologis dan fisik seseorang. Orang-orang yang mempunyai tempat untuk berbagi ide, perasaan dan masalah, mereka lebih bahagia dan lebih sehat dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki tempat untuk berbagi (Traupmann dan Hatfield, 1981).
CINTA
Selama tahap perkembangan keintiman ini, nilai-nilai cinta muncul. Cinta mengacu pada perilaku manusia yang sangat luas dan kompleks. Menurut Santrock (1995), cinta dapat diklasifikasikan menjadi empat bentuk cinta, yaitu: Altruisme, persahabatan, cinta yang romantik atau bergairah, dan cinta yang penuh perasaan atau persahabatan. Meskipun cinta sudah tampak dalam tahap-tahap sebelumnya (seperti cinta bayi pada ibunya dan cinta birahi pada remaja), namun perkembangan cinta dan keintiman sejati baru muncul setelah seseorang memasuki masa dewasa. Pada masa ini, perasaan cinta lebih dari sekedar gairah atau romantisme, melainkan suatu afeksi-cinta yang penuh perasaan dan kasih sayang. Cinta pada orang dewasa ini diungkapkan dalam bentuk kepedulian terhadap orang lain. Orang-orang dewasa awal lebih mampu melibatkan diri dalam hubungan melainkan suatu afeksi-cinta yang penuh perasaan dan kasih sayang. Cinta pada orang dewasa ini diungkapkan dalam bentuk kepedulian terhadap orang lain. Orang-orang dewasa awal lebih mampu melibatkan diri dalam hubungan bersama, dimana mereka saling berbagi hidup dengan seorang mitra yang intim.
Sehubungan dengan cinta yang penuh afeksi ini, Robert J.Sternberg, 1993 (Dalam Santrock, 1995) mengemukakan sebuah teori cinta yang dikenal dengan “The Triangular theory of love” (teori cinta triangular), yang menyatakan bahwa cinta memiliki 3 bentuk utama, yaitu :
-       Gairah, Cinta lebih didasarkan atas daya tarik fisik dan seksual pada pasangan
-       Keintiman, cinta yang lebih didasarkan pada perasaan emosional tentang kehangatan, kedekatan dan berbagi dalam hubungan.
-       Komitmen, cinta yang lebih didasarkan pada penilaian kognitif kita atas hubungan dan niat kita untuk mempertahankan hubungan, bahkan ketika menghadapi masalah sekalipun.
Sternberg mengemukakan bahwa jika dalam hubungan hanya ada gairah, tanpa disertai dengan keintiman dan komitmen, maka yang terjadi hanyalah  nafsu.
Jika suatu hubungan mempunyai keintiman dan komitmen, tetapi sedikit gairah atau bahkan tidak ada, maka terjadilah cinta yang penuh afeksi atau kebersamaan. Pola ini sering ditemukan pada pasangan bahagia yang telah membina hubungan rumah tangga bertahun-tahun lamanya. Akan tetapi, jika yang ada hanya gairah dan komitmen tanpa disertai dengan keintiman, hubungan itu disebut Sternberg sebagai “fatuous love”(cinta konyol). Oleh karena itu, tipe yang paling kuat disebut sebagai “consummate love” (cinta yang sempurna) hanya akan terbentuk jika dilandasi oleh ketiga komponen cinta (gairah, keintiman, dan komitmen) tersebut.

2.    Membina Kehidupan Rumah Tangga
Papalia, Olds, dan Feldman (1998; 2001} menyatakan bahwa golongan dewasa awal berkisar antara 21-40 tahun. Masa ini dianggap sebagai rentang yang cukup panjang, yaitu dua puluh tahun. Terlepas dari panjang atau pendek rentang waktu tersebut, golongan dewasa awal yang berusia di atas 25 tahun, umumnya telah menyelesaikan pendidikannya minimal setingkat SLTA (SMU-Sekolah Menengah Umum), akademi atau universitas. Selain itu, sebagian besar dari mereka yang telah me­nyelesaikan pendidikan, umumnya telah memasuki dunia pekerjaan guna meraih karier tertinggi. Dari sini, mereka mempersiapkan dan membukukan diri bahwa mereka sudah mandiri secara ekonomis, artinya sudah tidak bergantung lagi pada orangtua. Sikap yang mandiri ini merupakan langkah positif bagi mereka karena sekaligus dijadikan sebagai persiapan untuk memasuki kehidupan rumah tangga yang baru. Namun, lebih dari itu, mereka juga harus dapat membentuk, membina, dan mengembangkan kehidupan rumah tangga dengan sebaik-baiknya agar dapat mencapai kebahagiaan hidup. Mereka harus dapat menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan pasangan hidup masing-masing. Mereka juga harus dapat melahirkan, membesarkan, mendidik, dan membina anak-anak dalam keluarga. Selain itu, tetap menjalin hubungan baik dengan kedua orang tua ataupun saudara-saudara.
PERNIKAHAN DAN KELUARGA
Dihampir setiap masyarakat, hubungan seksual dan keintiman pada masa dewasa awal ini diperoleh melalui lembaga pernikahan atau perkawinan. Penelitian Rubbin (1973) menunjukkan hampir 95% orang Amerika menikah, dan sebagian besar dari mereka menikah pada awal masa dewasa. Setiap individu cenderung mencari pasangan hidup yang mempunyai latar belakang etnik, sosial, dan agama yang sama.
Myers menjelaskan bahwa ikatan cinta akan lebih menyenangkan dan langgeng apabila didasarkan pada persamaan minat dan nilai, saling berbagi perasaan dan dukungan materi, serta keterbukaan diri secara intim. Kelanggengan sebuah ikatan perkawinan biasanya juga lebih terjamin apabila masing-masing pasangan menikah setelah berumur diatas 20 tahun dan berpendidikan baik (Myers, 1996).
Terdapat perbedaan gender dalam hal kepuasan perkawinan. Pada umumnya isteri mempunyai tingkat kepuasan perkawinan yang lebih rendah dibandingkan suami. Studi Robert R.Bell (1979) menunjukkan bahwa wanita yang menikah mengalami frustasi, tidak puas dan tidak bahagia yang lebih besar dibandingkan dengan pria. Akan tetapi, masalah kepuasan dan kebahagiaaan wanita dalam perkawinannya ternyata tidak sama pada setiap Negara dan kebudayaan.
Di Jepang, hasil penelitian Nihon Keizai Shimbun tahun 1993 menunjukkan 86,2% wanita menyatakan bahwa mereka puas dengan kehidupan perkawinannya.  Kemudian, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada umumnya wanita yang merasa puas dengan perkawinannya, lebih menempatkan anak sebagai perioritas utama sumber kepuasan, sedangkan hubungan suami isteri menempati perioritas rendah.
Bagaimanapun juga, wanita yang bekerja akan mengalami konflik peran. Konflik peran wanita ini diantaranya dipengaruhi oleh:
1.      Image wanita tentang dirinya sendiri
2.      Sudut pandang wanita tentang feminimitas
3.      Pendapat pria tentang wanita karir dan jenis karirnya.
Oleh karena itu, untuk megurangi tekanan, hambatan, dan konflik tersebut, wanita karir dituntut untuk melakukan managemen konflik. Poloma (dalam Fransella dan Frost, 1977) menyebutkan sejumlah tehnik managemen konflik bagi wanita dalam menghadapi berbagai tekanan pekerjaannya, yaitu:
1.    Mendefinisikan situasi secara menyenangkan, contohnya: berkata pada dirinya sendiri bahwa “saya menjadi seorang ibu yang lebih baik karena saya bekerja”.
2.    Mengurutkan peran terpenting, Contoh: memprioritaskan kebutuhan keluarga sebagai kebutuhan yang utama dan pertama.
3.    “compartmentalization”-memelihara peran terpisah tersebut dalam konsep dan praktek.
4.    “compromise”-contohnya: memilah-milah urusan karir tertentu yang tidak perlu dan menyesuaikannya dengan berbagai tuntutan atau kebutuhan.
KEGAGALAN DALAM PERKAWINAN
Dalam penelitian Elizabeth Douvan dan teman-temannya, dilaporkan bahwa hampir 60% pria dan wanita dari seluruh partisipan mengaku bahwa kadang-kadang mereka mengalami berbagai problem dalam kehidupan perkawinan mereka. Problem-problem perkawinan ini muncul disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1.    Pasangan gagal mempertemukan dan menyesuaikan kebutuhan dan harapan satu sama lain.
2.    Salah satu pasangan mengalami kesulitan menerima perbedaan-perbedaan nyata dalam kebiasaan kebutuhan, pendapat, kerugian, dan nilai. Problem yang paling mencolok adalah masalah keuangan dan masalah anak-anak.
3.    Adanya perasaan cemburu dan perasaan memiliki yang berlebihan, membuat masing-masing merasa kurang mendapat kebebasan.
4.    Pembagian tugas dan wewenang yang tidak adil
5.    Kegagalan dalam berkomunikasi
6.    Masing-masing pasangan tumbuh dan berkembang kearah yang berbeda, tidak sejalan mencari minat dan tujuan sendiri-sendiri. (Davidoff, 1988).
Thompson Dan Walker (1989) mencatat bahwa pernikahan dengan peran ganda memiliki sisi-sisi keuntungan dan sisi-sisi kerugian bagi individu.
-          Keuntungan: keuangan, dapat memberika konstribusi pada hubungan yang lebih setara antara suami dan isteri, serta meningkatkan harga diri bagi wanita.
-          Kerugian: tuntutan adanya waktu dan tenaga ekstra, konflik antara peran pekerjaan dan peran keluarga, adanya persaingan antara suami dan isteri, perhatian terhadap anak-anak menjadi lebih berkurang.

3.      Meniti Karier dalam Rangka Memantapkan Kehidupan Ekonomi Rumah Tangga
Usai menyelesaikan pendidikan formal setingkat SMU, akademi atau universitas, umumnya dewasa muda memasuki dunia kerja, guna menerapkan ilmu dan keahliannya. Mereka ber­upaya menekuni karier sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki, serta memberi jaminan masa depan keuangan yang baik. Bila mereka merasa cocok dengan kriteria tersebut, mereka akan merasa puas dengan pekerjaan dan tempat kerja. Sebalik-nya, bila tidak atau belum cocok antara minat/ bakat dengan jenis pekerjaan, mereka akan berhenti dan mencari jenis pekerjaan yang sesuai dengan selera. Tetapi kadang-kadang ditemukan, meskipun tidak cocok dengan latar belakang ilmu, pekerjaan tersebut memberi hasil keuangan yang layak {baik), mereka akan bertahan dengan pekerjaan itu. Sebab dengan penghasilan yang layak (memadai), mereka akan dapat mem-bangun kehidupan ekonomi rumah tangga yang mantap dan mapan. Masa dewasa muda adalah masa untuk mencapai puncak prestasi. Dengan semangat yang menyala-nyala dan penuh idealisme, mereka bekerja keras dan bersaing dengan teman sebaya (atau kelompok yang lebih tua) untuk menunjukkan prestasi kerja. Dengan mencapai prestasi kerja yang terbaik, mereka akan mampu memberi kehidupan yang makmur-sejahtera bagi keluarganya. melakukan tugas reproduksi, yaitu mampu melakukan hubung-an seksual dengan lawan jenisnya, asalkan memenuhi persyarat-an yang sah (perkawinan resmi). Untuk sementara waktu, dorongan biologis tersebut, mungkin akan ditahan terlebih dahulu. Mereka akan berupaya mencari calon teman hidup yang cocok untuk dijadikan pasangan dalam perkawinan ataupun untuk membentuk kehidupan rumah tangga berikutnya. Mereka akan menentukan kriteria usia, pendidikan, pekerjaan, atau suku bangsa tertentu, sebagai prasyarat pasangan hidupnya. Setiap orang mempunyai kriteria yang berbeda-beda.

4.      Menjadi Warga Negara yang Bertanggung Jawab
Warga negara yang baik adalah dambaan bagi setiap orang yang ingin hidup tenang, damai, dan bahagia di tengah-tengah masyarakat. Warga negara yang baik adalah warga negara yang taat dan patuh pada tata aturan perundang-undangan yang ber-laku. Hal ini diwujudkan dengan cara-cara, seperti (1) mengurus dan memiliki surat-surat kewarganegaraan (KTP, akta kelahiran, surat paspor/visa bagi yang akan pergi ke luar negeri), (2) membayar pajak (pajak televisi, telepon, listrik, air. pajak kendaraan bermotor, pajak penghasilan), (3) menjaga ketertiban dan ke-amanan masyarakat dengan me×s0 ngendalikan diri agar tidak tercela di mata masyarakat, dan (4) mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial di masyarakat (ikut terlibat dalam kegiatan gotong royong, kerja bakti membersihkan selokan, memper-baiki jalan, dan sebagainya).


Tugas-tugas perkembangan tersebut merupakan tuntutan yang harus dipenuhi seseorang, sesuai dengan norma sosial-budaya yang berlaku di masyarakat. Bagi orang tertentu, yang menjalani ajaran agama mungkin tidak mengikuti tugas perkembangan bagian, yaitu mencari pasangan hidup dan membina kehidupan rumah tangga. Baik disadari atau tidak, setiap orang dewasa awal akan melakukan tugas perkembangan tersebut dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar