Sabtu, 19 November 2011

SEJARAH TIMBULNYA PERSOALAN-PERSOALAN DAN ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI DALAM ISLAM

SEJARAH TIMBULNYA PERSOALAN-PERSOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM

Dalam agama Islam persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran-ajaran Islam yang beliau terima dari Allah SWT di mekkah, kota ini mempunyai sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy.
Dalam sejarah, selama di Mekkah Nabi Muhammad SAW hanya mempunyai fungsi sebagai kepala agama, dan tidak mempunyai fungsi sebagai kepala pemerintahaan, karena kekuasaan politik yang ada di sana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Di Madinah sebaliknya, Nabi Muhammad SAW, di samping menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini.
Ketika beliau wafat tahun 632 M masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka. Timbulah masalah khilafah, soal pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara. Sebagai Nabi atau Rasul, Nabi tentu tidak dapat digantikan.
Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar-lah yang disetujui oleh masyarakat Islam pada waktu itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai negara mereka. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh ‘Umar Ibn al-Khattab oleh ‘Usman Ibn ‘Affan oleh Ali Ibn Tholib.
Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang aristokrat Mekkah yang karena pengalaman dagang mereka, mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang bertambah banyak masuk ke bawah kekuasaan Islam. Ahli sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang lemah dan tidak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh ‘Umar Ibn al-Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan tidak mementingkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh ‘Usman.
Tindakan-tindakan politik yang dijalankan ‘Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong ‘Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau yang ingin calonnya menjadi khalifah mulai pula menanggukan di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan tidak senang muncul di daerah-darerah. Dari Mesir, sebagai reaksi dijatuhkannya ‘Umar Ibn al-‘As yang digantikan oleh Abdullah Ibn Sa’d Ibn Abi Sarah, salah satu kaum keluarga ‘Usman, sebagai Gubernur Mesir, lima ratus pemberontak kumpul dan kemudian bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa kepada pembunuhan ‘Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir ini.
Setelah ‘Usman wafat ‘Ali, sebagai calon terkuat menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ini mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi khalifah, terutama Tolhah dan Subeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari ‘Aisyah. Tantangan dari ‘Aisyah, Talhah dan Zubeir ini dipatahkan ‘Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan ‘Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Pada masa khalifah ‘Ali dan sesudahnya, umat Islam pecah menjadi beberapa aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturudiyah. Aliran-aliran Khawarij tidak, Murjiah dan Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah.

KAUM KHAWARIJ
Kaum Khawarij adalah terdiri dari pengikut-pengikut ‘Ali Ibn Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap ‘Ali Ibn Thalib dalam menerima arbitase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khalifah dengan Mu’awiyah Ibn Sofyan.
Setelah memisahkan dari Ali mereka memilih ‘Abdullah Ibn Abi Wahb al-Rasidi menjadi imam mereka sebagai ganti dari ‘Ali Ibn Abi Talib. Dalam pertempuran dengan kekuatan ‘Ali mereka mengalami kekalaha besar, namun akhirnya seorang Khawarij bernama ‘Abd al-Rahman Ibn Muljam dapat membunuh ‘Ali.
Dalam masalah teologi khusus mengenai masalah kufr, kaum Khawarij yang pada umumnya terdiri dari orang orang-orang Arab Badawi berpendapat bahwa ‘Usman dan ‘Ali bagi mereka telah menjadi kafir, demikian pula halnya dengan Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang mereka anggap telah melanggar ajaran-ajaran Islam.
Menurut al-Syahrastani, mereka terpecah menjadi delapan belas subsekte, dan menurut al-Baghdadi menjadi dua puluh subsekte. Al-Asy’ari menyebut sebsekte-subsekte yang jumlahnya lebih besar lagi.
Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus-menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
o Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri dari para pengikut ‘Ali, disebut goloongan Al-Muhakkimah. Berbuat zina dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka menurut paham golongan ini orang yang mengerjakan zinah telah menjadi kafir dan keluar dari Islam. Begitu pula membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar.
o Al-Azariqah
Golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat setelah golongan al-Muhakkimah hancur adalah golongan Azariqah. Pengikut Azariqah menurut al-Baghdadi, berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Khalifah yang pertama kali mereka pilih adalah Nafi’.
Subsekte ini sifatnya lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musyrik atau polytheist. Di dalam Islam kedua term tersebut merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kufr.
Menurut paham subsekte yang ekstrim ini hanya merekalah yang sebenarnya orang Islam. Orang Islam yang di luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi. Oleh karena itu kaum al-Azariqah, sebagai disebut Ibn al-Hazm, selalu mengadakan isti’rad yaitu bertanya tentang pendapat atau keyakinan seseorang.siapa saja yang mereka jumpai dan mengaku Islam namun tidak termasuk golongan al-Azariqah, mereka bunuh.
o Al-Najdat
Nadjah, berlainan dengan kedua golongan di atas, berpendapat bahwa orang berdoasa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya apabila mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga.
Dalam kalangan al-Khawarij, golongan ini kelihatanya yang pertama membawa paham taqiah, yaitu merahasiakan dan tidak menyatakan keyakinan untuk keamanan diri seseorang. Taqiah, menurut pendapat mereka bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi juga dalam bentuk perbuatan. Jadi seseorang boleh mengeluarkan kata-kata dan boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang mungkin menunjukan bahwa pada lahirnya dia bukan orang Islam, tetapi pada hakikatnya dia menganut Islam.
o Al-‘Ajaridah
Kaum al-Jridah bersifat lebih lunak, karena menurut mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’ Ibn al-Azraq dan Nadjah, tetapi merupakan kebajikan. Dengan demikian kaum ‘Adarijah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir.
Selanjutnya kaum ‘Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam al-Qur’an membawa cerita cinta dan al-Qur’an, sebagai kitab suci, kata merekan, tidak mungkin mengandung cerita cinta.
o Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini ialah Ziad Ibn al-Asfar. Dalam paham mereka dekat dengan golongan al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang ekstrim dari yang lain, antara lain:
a)      Taqiah hanya boleh dalam bentuk perbuatan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
b)      Untuk keamanan dirinya perempuan Islam boleh kawin dengan lelaki kafir, di daerah bukan Islam.
o Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari ‘Abdullah Ibn Ibad, yang pada tahun 686M, memisahkan diri dari golongan al-Azariqah. Paham moderat mereka dapat dilihat dari ajaran-ajaran berikut:
a)      Orang Islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tapi kafir.
b)      Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng_Esa-kan Tuhan, tapi bukan mukmin dan bukan kafir al-Millah, yaitu kafir agama.

KAUM MURJI’AH
Sebagaimana halnya dengan kaum Khawarij, kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah ‘Usman Ibn Affan mati terbunuh. Seperti telah dilihat kaum Khawarij, pada mulanya adalah penyokong ‘Ali, tapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia kepadanya bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golonganlain dalam Isalmyang dikenal dengan nama Syi’ah.
Kata Murji’ah berasal dari Aarj’a yang mengandung arti memberi pengharapan. Orang yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi mukmin dan tidak akan kekal dalam neraka, memang memberi pengharapan kepada yang berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat Allah. Oleh karena itu ada juga pendapat bahwa nama Murji’ah diberikan kepada golongan ini, bukan karena mereka menunda penentuan hokum terhadap orang Islam yang berbuat dosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kudian dari iman, tapi karena memberi pengharapan bagi orang yang berbuat dosa besar untuk masuk surga.
Pada umumnya kaum Murji’ah dapat dibagi kedalam dua golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
Salah satu tokoh besar kaum Murji’ah adalah Abu Hanifah. Di dalam hal ini Abu Hanifah memberi definisi iman sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian, iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.
Namun menurut al-Asy’ariyah sendiri iman ialah pengaukuan dalam hati tentang keesaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka bawa. Mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggalkan dunia tanpa taubat, nasibnya terletak di tangan Tuhan. Ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya, dan ada pula kemungkinan Tuhan tidak akan mengampuni dosa-dosanya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukan ke dalam surga, karena tidak mungkin ia kekal tinggal dalam neraka.
Ringkasnya menurut uraian di atas orang yang berdosa besar bukanlah kafir, dan tidak kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan masuk surga.
Selanjutnya, sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa golongan Murji’ah moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah dan ajaran mereka mengenai iman, kufr dan dosa besar masuk ke dalam aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah. Adapun golongan Murji’ah ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi dalam praktek masih terdapat sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajaran ekstrim itu, mungkin dengan tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dalam hal ini mengikuti ajaran-ajaran golongan Murji’ah ekstrim.

QADARIAH DAN JABARIAH
Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk manusia itu sendiri. Selanjutnya Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini timbulah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung kepada kehendak dan kekuasan mutlak Tuhan dalam menetukan perjalanan hidup? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat sepenuhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?
Dalam pandangan Qadariah menjawab pertanyan-pertanyaan di atas berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuata-perbuatanya. Dengan demikian nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau qadar Tuhan. Dalam istilah inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
Sebaliknya pada kaum Jabariah. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menetukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam pada paham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama jabariah berasal dari jabar yang mengandung arti memaksa dan dalam istilah inggrisnya disebut dengan fatalism atau predestination.
Aliran Qadariah berkembang dalam sejarah tidak diketahui pasti kapan paham ini timbul, tapi menurut keterangan para ahli ilmu teologi Islam, paham qadariah kelihatnnya ditumbulkan buat pertama kali oleh seorang yang bernama Ma’bad al-Juhani.menurut Ibn Nabatah Ma’bad al-Juhani bersama temannya yang bernama Ghalian al-Dimasqi mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak.
Sedangkan Jabariah, kelihatannya ditunjukan pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh al-Ja’d Ibn Dirham, tapi yang menyiarkannya adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Salah satu ayat-ayat yang boleh membawa kepada paham qadariah seperti Firman Allah dalam surat Ar-Rad ayat 11 sebagai berikut:
.....3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ ......
Artinya:
“..Tuhan tidak akan mengubah apa yang ada pada sesuatu bangsa, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri..” (Q.S Ar-Rad: 11)
Selanjutnya salah satu ayat yang membawa pada paham jabariah seperti pada firman Allah surat Al-Saffat ayat 96 sebagai berikut:
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ 
Artinya:
“Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” (Q.S Al-Saffat: 96)

KAUM MU’TAZILAH
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis Islam.”
Ada salah satu keterangan bahwa asal usul kaum aum Mu’tazilah berawal dari peristiwa yang terjadi diantara Wasil Ibn ’Ata’ serta temannya ’Amr Ibn ’Ubaid dan Hasan al-Basri di Masjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana yang diketahui orang Khawarij memandang mereka kafir sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basir masih berpikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: ”Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukanlah kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir.” kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di masjid; di sana ia mengulangai pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: ” Wasil menjuh diri dari kita (i’tazala’ ana).” Dengan demikian ia berserta teman-temannya,kata al-Sayahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.
Kata Mu’tazilah berasal dari ”i’tazala” dan ”al-Mu’tazilah” telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri, dalam arti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikain politik yang ada di zaman mereka.
Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa orang pertam membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn ’Ata’. Sebagai dikatakan al-Mas’udi, ia adalah, syeikh al-Mu’tazilah wa qadil muha, yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Di sana ia belajar pada Abu Hasyim ’Abdullah Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar kepada Hasan al-Basri.
Dua ajaran yang ditinggal oleh Wasil yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-sifat Tuhan, kemudian merupakan bagian integral dari al-Ushul al-Khamasah atau pancasila Mu’tazilah. Ketiga sila lainnya adalah al-’adl; keadialn tuhan, al-wa’ad wa al wa’id, janji baik dan ancaman dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar, memrintahkan orang berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan kalau perlu dengan kekerasan. Adapun tokoh-tokoh lain dari Mu’tazilah yaitu Bisyr Ibn Sa’id, Abu ’Usman al-Za’farani, Abu al-Huzail al-’Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar.
Menurut al-Khayyat, orang yang diakaui menjadi pengikut atau penganut Mu’tazilah, hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar yang telah disebut di atas. Orang yang menerima hanya sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang Mu’tazilah. Al-Ushul al-Khamasah, sebai dikemukakan oleh pemuka-pemuka Mu’tazilah sendiri, diberi urutan menurut pentingnya kedudukan tiap dasar, sebagai berikut.
Al-Tawhid, al-’Adl, al-Wa’ad wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain dan al-’Amr bi al-Ma’ruf wa alNahy ’an al-Munkar.
Demikianlah uraian sekedarnya tentang pemuka-pemuka kaum Mu’tazilah, pendapat-pendapat mereka dan ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah.

AHLI SUNNAH DAN JAMA’AH
Term ahli Sunnah dan Jama’ah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham golongan-golongan Mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan terhadap sikap mereka yang menyiarkan ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usah telah dijalankan untuk menyebar ajaran-ajaran itu, di samping usaha-usaha yang dijalankan dalam menentang serangan musuh-musuh Islam.
Puncak kejayaan kaum Mu’tazilah pada waktu itu ialah pada masa khalifah setelah al-Ma’mun di tahun 827 M mengakui Mu’tazilah sebagai madzhab resmi yang dianut oleh negara.
Pada hakikatnya kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tapi mereka ragu akan keoriginilan hadits-hadits yang mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebgai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah.
Mungkin dari sinilah yang menimbulkan term ahli Sunnah dan jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan dari golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tidak kuat berpegang pada sunnah.
Bagaimanapun, yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi Islam adalah kaum Asy’ariyah dan kaum Maturidi. Walaupun al-Asy’ari sendiri telah telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah.
Tokoh-tokoh dalam golongan Asy’riaah diantaranya, Abu Hamid al-Ghazali, al-Juwani, al-Baqillani, dll. Adapun ajaran-ajaran al-Asy’ari sendiri dapat diketahui dari buku-buku yang ditulisnya, terutama dari kitab al-Luma’ Fi al-Rad ’ala Ahl al-Ziagh wa al-Bida’ dan al-Ibanah ’an Ushul al-Dianah di damping buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya. Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah tentia ia berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kata al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan zat-nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (ilm) tetapi Yang Mengetahui (’Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukalah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendenganr dan melihat.
o Aliran Maturudiah
Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengan kedua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu H nifah dan faham-faham teologinya banyak banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan Jama’ah dan dikenal dengan nama al-Maturudiah.
Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran al-Maturudiah tidak sebanyak literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariah. Buku-buku yang banyak membahas tentang sekte-sekte seprti buku-buku al-Syahrastani, Ibn Hazm, al-Baghdadi dan lain-lain tidak memuat keterangan-keterangan tentang al-Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Karangan-karangan al-Maturidi sendiri belum dicetak dan tetap dalam bentuk MSS (Makhtutat). Diantaranya yaitu, Kitab al-Tauhid, Risalah Fil al-‘Aqa’id, Syarh al-Fiqh al-Akbar, Usul al-Din (dikarang oleh pengikutnya) dan Kitab Ta’wil al-Qur’an.
Al-Maturudi banyak memakai akal dalam sistem teologinya. Oleh karena itu antara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh al-Asy’ari terdapat perbedaan, keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah. Salah satu perbedaan tersebut adalah mengenai soal al-wa’ad wa al-wa’id al-Maturidi sefaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh mesti terjadi kelak. Dan juga dalam soal anthropomorphisme al-Maturudi sealiran dengan Mu’tazilah. Ia tidak sependapat dengan al-Asy’ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi interprestasi atau ta’wil. Menurut pendapatnya tangan, wajah dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan. Dalam aliran al-Maturidi sendiri terdapat dua golongan: golongan samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Aliran al-Maturudiah banyak dianut oleh umat Islam yang memakai mazhab Hanafi.

Nasution,H. (1986). Teologi islam (aliran-aliran sejarah analisa perbandingan). Jakarta: UI-Press

2 komentar: