Minggu, 06 November 2011

PERILAKU NON-VERBAL WARIA


A.  WARIA (TRANSSEXUAL)
Kata ‘waria’ sudah menjadi makanan telinga kita sehari-hari. Memang dalam peristilahannya, waria adalah seorang laki-laki yang berbusana dan bertingkah laku sebagaimana layaknya seorang wanita. Istilah ini awalnya muncul dari masyarakat Jawa Timur yang merupakan akronim dari ‘wanita tapi pria’ pada tahun 1983-an. Paduan dari kata wanita dan pria. Sedangkan istilah lain yang lazim digunakan untuk kaum ini adalah “banci yang kemudian mengalami metamorfosa dengan melahirkan kata bencong. Wadam kependekan dari wanita adam. Istilah ini kurang begitu populer lagi. Wandu berasal dari bahasa Jawa yang mungkin artinya wanito dhudhu (wanita bukan). Pernah juga ada istilah binan, namun penggunaannya juga kian berkurang menjadi kata yang umum. Kaum ini juga terkenal kreatif dalam menghasilkan kosakata baru, yang acap membingungkan kita kaum kebanyakan dikarenakan kaum semacam ini cenderung menggunakan istilah yang ditujukan bagi komunitasnya belaka. Kata ‘Waria’ inilah yang kini menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.
Bastaman dkk (2004 : 168) mengatakan bahwa waria atau transsexual yaitu:  Keinginan untuk hidup dan diterima sebagai anggota kelompok lawan jenis, biasanya disertai dengan rasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan jenis kelamin anatomisnya, dan menginginkan untuk membedah jenis kelamin serta menjalani terapi hormonal agar tubuhnya sepadan mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan. Kartono, (1989:226) mengatakan bahwa transeksual (waria) adalah gejala merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. Koeswenarno, (2005:12) mengatakan bahwa seorang transeksual (waria) secara psikis merasa dirinya tidak cocok dengan alat kelamin fisiknya sehingga mereka memakai pakaian atau atribut lain dari jenis kelamin yang lain. Sue, (1986:338) mengatakan bahwa transeksual (waria) yaitu seseorang yang merasa memiliki kelamin yang berlawanan dimana terdapat pertentangan antara indentitas jenis kelamin dan jenis kelamin biologisnya. Crooks, (1983:36) menjelaskan bahwa transeksual (waria) adalah seseorang yang mempunyai identitas jenis kelamin sendiri yang berlawanan dengan jenis kelamin biologisnya.
Transeksual (waria) biasanya cenderung menunjukkan perselisihan dengan peran jenis kelamin diusia muda laki-laki yang memperlihatkan minat dan sifat-sifat yang dianggap feminim dan mereka seringkali disebut banci oleh teman sebaya mereka. Seseorang cenderung menjadi transeksual (waria) biasanya lebih suka bermain dengan perempuan dan menghindari  kegiatan yang kasar dan kacau. Supratiknya, (1995:96) mendefinisikan transeksual (waria) sebagai gangguan kelainan dimana penderita merasa dirinya terperangkap didalam tubuh lawan jenisnya. Sedangkan Puspitosari, (2005:10) mendefinisikan transeksual (waria) sebagai seseorang yang secara jasmaniah jenis kelaminnya laki-laki namun secara psikis cenderung perpenampilan wanita. Danandjaja, (Puspitosari, 2005:11) menyatakan bahwa transeksual (waria) adalah kaum homo yang mengubah bentuk tubuhnya dapat menjadi serupa dengan lawan jenis. Jika yang jantan mengubah dadanya dengan operasi plastic atau menyuntikkan dirinya dengan hormone seks, dan membuang penis serta testisnya dan membentuk lubang vagina.
Dari beberapa pendapat diatas mengenai transeksual, maka dapat disimpulkan bahwa transeksual merupakan suatu kelainan dimana penderita merasa tidak nyaman dan tidak sesuai dengan jenis kelamin anatomisnya sehingga pendrita ingin mengganti kalaminnya (dari laki-laki menjadi wanita) dan cenderung berpenampilan menyerupai wanita.
Waria dalam konteks psikologis termasuk dalam transeksualisme, yakni seseorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna, namun secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis (Koeswinarno, 2004). Transeksual menurut Carroll (dalam Davidson, Neale dan Kring, 2004) merupakan individu dengan gangguan identitas gender yang umumnya dimulai sejak kecil dimana ia merasa dan meyakini bahwa dirinya adalah jenis kelamin yang berkebalikan dengan keadaannya yang sebenarnya. Perasaan ini terus berlanjut hingga masa dewasa. Dalam Diagnotic and Statistic Manual of Mental Disorder IV-TR (2004) yang digunakan dalam menegakkan diagnosa berbagai gangguan mental, disebutkan ciri utama individu yang mengalami gangguan identitas gender (GIG) adalah mengalami identifikasi cross-gender yang kuat dan menetap, dan merasa bahwa peran gendernya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya. Transeksual ini sendiri dibagi menjadi dua, yaitu male-to-female transsexual (laki-laki yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang perempuan) dan female-tomale transsexual (perempuan yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang laki-laki). Yang dimaksudkan disini adalah male-to-female yang disebut dengan waria.
Penjelasan ini diperkuat dengan adanya penuturan dari Merlyn, Putri Waria Indonesia 2006 (Sopjan, 2006) yang menuturkan:”Aku adalah perempuan. Perempuan dalam jiwa. Ragaku adalah lakilaki. Dan aku tetap merasa perempuan. Tak ada yang salah. Yang salah cuma orang tidak melihatku lebih dalam. Mereka hanya melihat ragaku. Mereka hanya melihat yang terlihat. Mereka tak mau tahu lebih jauh. Adalah perempuan. Perempuan tanpa vagina.”
Waria sebagai istilah baku dalam tata bahasa Indonesia sebenarnya masih kurang populer di kalangan masyarakat awam. Masyarakat lebih akrab dengan istilah banci atau bencong yang merupakan bagian dari bahasa Indonesia informal (Dede, 2003), yang digunakan untuk sebutan kepada orang (laki-laki atau perempuan) yang berpakaian atau berbicara sebaliknya tidak sesuai dengan kelaminnya. Masyarakat juga masih sering mengalami ketidakpahaman akan perbedaan antara waria dengan istilah-istilah atau sebutan yang digunakan untuk sebutan bagi kaum minoritas lainnya, misalnya homoseksual, interseks, dan transvetis.
Perbedaan persepsi ini perlu diluruskan agar adanya satu pemahaman yang sama. Masyarakat sering, dan bahkan menyamakan antara homo dan waria. Atmojo (dalam Anwar, 2006) menjelaskan bahwa waria dan homoseksual itu berbeda. Homoseksual adalah relasi seks dengan jenis kelamin yang sama, atau rasa tertarik dan mencintai jenis kelamin yang sama secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional) atau secara erotik, baik secara predominan (lebih menonjol) maupun ekslusif (semata-mata) terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik (jasmaniah). Seorang homoseksual umumnya, tidak merasa perlu ber-make-up dan berpakaian seperti yang dilakukan oleh waria.
Perbedaan yang lain adalah dengan interseks. Dimana interseks adalah keadaan ekstrem interseksualitas dengan gangguan perkembangan pada proses pembedaan kelamin (Nadia, 2005). Demikian juga dengan transvetisme adalah sebuah nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelamin yang berbeda, di sini ia akan mendapatkan kepuasan seks namun dia sendiri tetap merasa sesuai dengan jenis kelaminnya. Sementara seorang waria memakai pakaian atau atribut perempuan karena dirinya secara psikis merasakan ”sebagai perempuan” (Koeswinarno, 2004). Waria adalah laki-laki normal, yang memiliki kelamin yang normal, namun secara psikis mereka merasa dirinya perempuan. Akibat perilaku mereka sehari-hari sering tampak kaku, fisik mereka laki-laki, namun cara berjalan, berbicara dan dandanan mereka mirip perempuan. Dengan cara yang sama dapat dikatakan mereka terperangkap pada tubuh yang salah. Kehadiran seorang waria merupakan suatu proses yang panjang, baik secara individual maupun sosial. Secara individual antara lain, lahirnya perilaku waria tidak lepas dari suatu proses atau dorongan yang kuat dari dalam dirinya, bahwa fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis, hal ini menimbulkan konflik psikologis dalam dirinya. Mereka mempresentasikan perilaku yang jauh berbeda dengan laki-laki, tetapi bukan sebagai perempuan. Permasalahannya tidak sekedar menyangkut masalah moral dan perilaku yang dianggap tidak wajar, namun merupakan dorongan seksual yang sudah menetap dan memerlukan penyaluran (Kartono dalam Koeswinarno, 2004). Berbagai dorongan seksual waria belum sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat, secara normatif tidak ada kelamin ketiga di antara laki-laki dan perempuan (Koeswinarno, 2004).
Jenis-jenis waria Kemala Admojo (Nadia, 2005:240) menyebutkan jenis waria sebagai berikut:
a.       Transeksual yang aseksual yaitu seorang transeksual yang tidak berhasrat atau tidak mempunyai gairah seksual yang kuat.
b.      Transeksual homoseksual  yaitu seorang transeksual memiliki kecenderungan pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ke tahap transeksual murni.
c.       Transeksual yang heteroseksual yaitu seorang transeksual yang pernah menjalani kehidupan heteroseksual sebelumnya. Misal pernah menikah.
Menurut Maslim (2003:111) ciri-ciri transeksual (waria) adalah
1.      Identitas transeksual harus sudah menetap selama minimal 2 tahun dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetic atau kromosom.
2.      Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi dengan anatomi seksualnya.
3.      Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.

B.  PERILAKU NON-VERBAL
a)    Pengertian Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal merupakan proses komunikasi yang tidak dilakukan melalui bahasa dan pengucapan kata-kata, tetapi melalui cara-cara lain seperti bahasa tubuh, mimik wajah, sensitivitas kulit, dan lain-lain. Walaupun masih memiliki kekurangan-kekurangan tertentu, komunikasi verbal, seperti bahasa, telah sanggup menyampaikan informasi kepada orang lain. Hanya saja, pesan-pesan yang sifatnya non-verbal tentunya juga tetap dibutuhkan untuk meperjelas informasi-informasi yang akan disampaikan oleh sender agar receiver dapat lebih memahaminya, dan tidak terjadi salah persepsi.
Komunikasi nonverbal adalah penciptaan dan pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata-kata, komunikasi ini menggunakan gerakan tubuh, sikap tubuh, intonasi nada (tinggi rendahnya nada), kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak, dan sentuhan-sentuhan. Atau dapat juga dikatakan bahwa semua kejadian di sekeliling situasi komunikasi yang tidak berhubungan dengan kata-kata yang diucapkan atau dituliskan. Tanda-tanda komunikasi nonverbal belum dapat diidentifikasi seluruhnya, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa cara kita duduk, berjalan, berpakaian, semuanya itu menyampaikan informasi pada orang lain. Tiap-tiap gerakan yang kita buat dapat menyatakan asal kita, sikap kita, kesehatan, atau bahkan keadaan psikologis kita. Misalnya, gerakan-gerakan seperti mengerutkan alis, menggigit bibir, menunjuk dengan jari, tangan di pinggang, dan melipat tangan bersilang di dada.
Orang yang terampil membaca pesan nonverbal dari orang lain disebut intuitif, sedangkan yang terampil mengirimkannya disebut eksresif. Edward T. Hall menamai bahasa nonverbal sebagai bahasa diam (silent language) dan dimensi tersembunyi (hidden dimension). Disebut diam dan tersembunyi, karena pesan-pesan noverbal tertanam dalam konteks komunikasi yang memberikan isyarat-isyarat untuk dilakukan penafsiran dari seluruh makna pesan yang disampaikan.
b)   Fungsi Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal dapat menjalankan sejumlah komunikasi penting. Periset nonverbal mengidentifikasi enam fungsi utama (Ekman, 1965; Knapp, 1978) sebagai berikut:
a.       Untuk menekankan, komunikasi nonverbal digunakan untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal. Misalnya saja, anda mungkin tersenyum untuk menekankan suatu hal tertentu.
b.      Untuk melengkapi (complement), komunikasi nonverbal digunakan untuk memperkuat warna atau sikap umum yang dikomunikasikan oleh pesan verbal.
c.       Untuk menunjukkan kontradiksi., pesan verbal dapat bertentangan dengan gerakan nonverbal. Sebagai contoh, anda dapat menyilangkan jari anda atau mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang anda katakan adalah tidak benar.
d.      Untuk mengatur, gerak-gerik nonverbal dapat mengendalikan atau mengisyaratkan keinginan untuk mengatur arus verbal. Contohnya, mengerutkan bibir, mencondongkan badan ke depan, atau membuat gerakan tangan untuk menunjukkan bahwa anda ingin mengatakan sesuatu.
e.       Untuk mengulangi, misalnya, menyertai pernyataan verbal “Apa benar?” dengan mengangkat alis mata.
f.       Untuk menggantikan, misalnya, mengatakan “oke” dengan tangan tanpa berkata apa-apa yang dapat digantikan dengan menganggukkan kepala untuk mengatakan “ya” atau menggelengkan kepala untuk mengatakan “tidak”.
Rakhmat (1985) menjelaskan bahwa komunikasi nonverbal memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1.      Repetisi
Di sini komunikasi nonverbal memiliki fungsi untuk mengulang kembali gagasan yang disajikan secara verbal. Misalnya setelah seseorang menjelaskan penolakannya terhadap suatu hal, ia akan menggelengkan kepalanya berulang kali untuk menjelaskan penolakannya.
2.      Substitusi
Di sini komunikasi nonverbal memiliki fungsi untuk menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya tanpa sepatah katapun seseorang berkata, ia dapat menunjukkan persetujuan dengan mengangguk-anggukkan kepala.
3.      Kontradiksi
Di sini komunikasi nonverbal memiliki fungsi untuk menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya seseorang memuji prestasi rekannya dengan mencibirkan bibirnya sambil berkata: “Hebat, kau memang hebat”.

4.      Komplemen
Di sini komunikasi nonverbal memiliki fungsi untuk melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. Misalnya air muka seseorang menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata.
5.      Aksentuasi
Di sini komunikasi nonverbal memiliki fungsi untuk menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya seseorang mengungkapkan kejengkelannya sambil memukul mimbar.
c)    Klasifikasi Jenis Komunikasi Nonverbal
·         Komunikasi objek
Komunikasi objek yang paling umum adalah penggunaan pakaian. Orang sering dinilai dari jenis pakaian yang digunakannya, walaupun ini dianggap termasuk salah satu bentuk stereotipe. Contoh dari penggunaan komunikasi objek adalah seragam.
·         Sentuhan
Sentuhan dapat termasuk: bersalaman, menggenggam tangan, berciuman, sentuhan di punggung, mengelus-elus, pukulan, dan lain-lain. Masing-masing bentuk komunikasi ini menyampaikan pesan tentang tujuan atau perasaan dari sang penyentuh. Sentuhan juga dapat menyebabkan suatu perasaan pada sang penerima sentuhan, baik positif ataupun negatif.
·         Ekspresi wajah
Wajah merupakan sumber yang kaya dengan komunikasi, karena ekspresi wajah cerminan suasana emosi seseorang. Hal ini di gunakan untuk berkomunikasi secara emosional, atau reaksi terhadap suatu pesan. Tetapi ekspresi wajah sangat tergantung pada orang yang menafsirkannya.
·         Kontak mata
Merupakan sinyal alamiah untuk berkomunikasi. Dengan mengadakan kontak mata selama berinterakasi atau tanya jawab berarti orang tersebut terlibat dan menghargai lawan bicaranya dengan kemauan untuk memperhatikan bukan sekedar mendengarkan. Kontak mata sangat menentukan kebutuhan psikologis dan dapat membantu kita memantau efek komunikasi antar pribadi. Melalui kontak mata kita dapat menceritakan kepada orang lain suatu pesan sehingga orang akan memperhatikan kata demi kata melalui tatapan.
·         Postur tubuh dan gaya berjalan.
Cara seseorang berjalan, duduk, berdiri dan bergerak memperlihatkan ekspresi dirinya. Postur tubuh dan gaya berjalan merefleksikan emosi, konsep diri, dan tingkat kesehatannya.
·         Sound (suara)
Rintihan, menarik nafas panjang, tangisan juga salah satu ungkapan perasaan dan pikiran seseorang yang dapat dijadikan komunikasi.
·         Gerak isyarat
Gerak isyarat dapat mempertegas pembicaraan, seperti mengetuk-ngetukkan kaki atau mengerakkan tangan selama berbicara menunjukkan seseorang dalam keadaan stres, bingung, atau sebagai upaya untuk menghilangkan stres.
Jurgen Ruesch mengklasifikasikan isyarat nonverbal menjadi tiga bagian, yaitu:
1)      Bahasa tanda (sign language)
2)      Bahasa tindakan (action language)
3)      Bahasa objek (object language)
Sedangkan menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter secara garis besar membagi pesan-pesan nonverbal menjadi dua kategori besar, yakni:
a.       Berdasarkan perilaku, yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan, dan parabahasa
b.      Berdasarkan lingkungan, yang terdiri dari ruang, waktu, dan dia.
Duncan (dalam Rakhmat, 1985) menyebutkan terdapat beberapa jenis pesan nonverbal, yaitu:
a.       Pesan kinesik
Pesan kinesik merupakan pesan yang menggunakan gerakan tubuh yang berarti. Pesan ini terdiri dari tiga kompunen utama yaitu:
·         Pesan fasial (air muka)
·         Pesan gestural (gerakan)
·         Pesan postural (keseluruhan anggota badan)
b.      Pesan proksemik
Pesan ini disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Pada umumnya, dengan mengatur jarak, kita mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain. Pesan ini juga diungkapkan dengan mengatur ruangan objek dan rancangan interior.
c.       Pesan artifaktual
Pesan ini diungkapkan melalui penampilan, body image, pakaian, maupun kosmetik. Umumnya pakaian kita pergunakan untuk menyampaikan identitas kita, yang berarti menunjukkan kepada orang lain bagaimana perilaku kita dan bagaimana orang lain sepatutnya memperlakukan kita.

d.      Pesan paralinguistik
Merupakan pesan nonverbal yang berhubungan dengan cara mengucapkan pesan verbal. Satu pesan verbal yang sama dapat menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan dengan cara yang berbeda. Hal-hal yang membedakan antara lain: nada, kualitas suara, volume, kecepatan, dan ritme.
e.       Pesan sentuhan dan bau-bauan
Berbagai pesan atau perasaan dapat disampaikan melalui sentuhan serta bau-bauan yang telah digunakan manusia untuk berkomunikasi secara sadar maupun tidak sadar. Saat ini orang-orang telah mencoba menggunakan bau-bauan buatan seperti parfum untuk menyampaikan pesan.
d)   Pentingnya Komunikasi Nonverbal Dalam Kehidupan Sehai-Hari
Ada beberapa alasan mengapa komunikasi non-verbal memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Leathers (1976), yaitu:
a.       Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal
b.      Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan non-verbal darpada pesan verbal
c.       Pesan non-verbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancauan
d.      Pesan non-verbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi
e.       Pesan non-verbal merupakan cara berkomunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal
f.       Pesan non-verbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat

HASIL OBSERVASI
A.  BATASAN
Observasi yang dilakukan terhadap waria ini memiliki batasan-batasan tertentu. Karena karakteristik dari perilaku non verbal tersebut sangat luas cakupannya, maka observer membatasi ruang lingkup observasinya pada aspek tertentu. Berdasarkan pada definisi komunikasi nonverbal adalah penciptaan dan pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata-kata atau komunikasi yang menggunakan gerakan tubuh, sikap tubuh, intonasi nada (tinggi rendahnya nada), kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak, dan sentuhan-sentuhan (Baker, 1981). Maka observer membatasi ruang lingkup observasi pada aspek antara lain:
·         Komunikasi objek, dalam hal ini dilihat dari penggunaan pakaian observee.
·         Sentuhan. Sentuhan dapat termasuk: bersalaman, menggenggam tangan, berciuman, sentuhan di punggung, mengelus-elus, pukulan, dan lain-lain.
·         Gerakan tubuh. Dapat berupa: kontak mata, ekspresi wajah, gerak isyarat, sikap tubuh.
·         Postur tubuh dan gaya berjalan. Cara seseorang berjalan, duduk, berdiri dan bergerak memperlihatkan ekspresi dirinya.
·         Sound (suara). Berupa nada, kecepatan dan intonasi.
Dengan batasan observasi yang demikian dan tujuan yang diharapkan maka observer menggunakan observasi partisipan yang bersifat covert. Observer hanya berpartisipasi secara pasif dalam proses ini. Observer berpura-pura menjadi pembeli bakso, sehingga observee tidak tahu bahwa dirinya sedang diobservasi.


B.  DESKRIPSI SETTING DAN OBJEK OBSERVASI
a.       Deskripsi Setting
Observer melakukan observasi di sebuah warung bakso urat cabang SKI-DODIKJUR di jalan Terusan Surabaya. Warung tersebut adalah milik seorang perempuan setengah baya yang dijaga oleh waria. Warungnya bercat biru muda dengan ukuran memanjang sekitar 2 x 4 meter. Di warung tersebut ada 2 meja yang disiapkan untuk pelanggan yang membeli bakso dengan 4 kursi plastik dimasing-masing meja. Diatas meja juga disediakan kerupuk, kecap, saus dan sambal untuk pelanggan. Dan di belakang meja kedua ada tirai berwarna biru yang digunakan sebagai sekat. Agak masuk ke dalam ada kursi sofa yang biasanya digunakan untuk santai dan juga dapat digunakan sebagai ruang tamu. Juga ada televisi yang berukuran 14 inchi dan sebuah akuarium. Sedangkan gerobak baksonya berada di bagian depan menghadap ke jalan. Ada dua gerobak, yang membujur khusus untuk bakso dan perlengkapannya dan yang melintang digunakan untuk membuat minuman, misalnya es teh, es jus, es jeruk, dll. Letak warung tersebut di pinggir jalan yang cukup strategis, di sampingnya ada tempat foto copy yang selalu ramai oleh orang. Sedangkan waktu yang digunakan ketika observasi, observer mengambil tiga kali, yakni pada tanggal 13 Juni 2011 sekitar pukul 16.23-17.30, malam hari tanggal 14 Juni 2011 sekitar pukul 21.00-22.30 dan siang hari tanggal 16 Juni 2011 sekitar pukul 10.00-13.00.
b.      Deskripsi Observee
Nama                           : Susi Similikiti alias Eko
Usia                             : 29 tahun
Alamat asal                 : Dampit, Malang
Alamat sekarang         : Warung bakso urat cabang SKI-DODIKJUR di jalan Terusan Surabaya
Agama                         : Kristen
Mbak Susi adalah seorang waria penjual bakso yang ada di jalan terusan Surabaya. Kondisi fisik mbak Susi kelihatan sehat dan terawat. Tubuhnya agak gemuk dengan berat sekitar 70 kg dan kulitnya halus, tidak menampakan kelaki-lakian sama sekali. Mbak Susi juga mempunyai payudara hasil suntik silikon yang dilakukannya dulu. Rambutnya coklat kehitaman, pendek sebahu dan direbonding. Mbak Susi memiliki gigi yang gingsul yang biasanya selalu terlihat ketika mbak Susi tertawa. Mbak Susi sering merias wajahnya. Memakai alis mata, lipstick, bedak, dll. Suara mbak Susi sangat lembut dan merdu sekali, karena mbak Susi adalah seorang sinden yang biasanya ikut dalam acara pagelaran wayang pak Manteb. Mbak Susi juga adalah seorang anggota dari K-9 yang ditugaskan untuk melatih anjing pelacak. Selain itu, mbak Susi dulu juga pernah belajar di sanggar tari di Blitar kira-kira 2 tahun, dulu mbak susi juga pernah bekerja di Arab saudi sebagai pembantu rumah tangga, bekerja di Surabaya sebagai penjaga bar, bekerja di Madiun sebagai pelayan toko dan di Tidar di salon hewan. Mbak Susi sebenarnya mempunyai seorang saudara kembar yang bernama Eka, namun telah meninggal ketika usianya 21 tahun, dan untuk mengenang saudara kandungnya itu, mbak Susi memakai cincin milik saudaranya itu. Mbak Susi sangat ramah kepada siapa saja, terlihat ketika ada seorang tetangga yang menyapa dia balas menyapanya. Mbak Susi adalah orang yang memperhatikan kebersihan diri, warungnya selalu rapi dan bersih, rambutnya juga wangi, badannya bersih terawat dan mukanya selalu berseri.
c.       Deskripsi Observer
Nama                           : Robik Anwar Dani
TTL                             : Ngawi, 23 Mei 1991
Usia                             : 20 tahun
Status                          : Mahasiswa  Psikologi semester IV UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Alamat                                    : Jln. Kertosentono 45 D 
C.  DISPLAY HASIL OBSERVASI
Tgl
Coding
Hasil Observasi
Interpretasi
Senin, 13 Juni 2011 (16.23-17.30 WIB)
NV 1
Pakaian yang digunakan adalah rok pantai warna kuning bercampur jingga dan kaos, atau kadang-kadang memakai training untuk bawahanya.
Waria yang berjualan bakso menggunakan pakaian seperti yang dikenakan oleh wanita ibu rumah tangga sewajarnya. Menggunakan pakaian yang elastis dan menyerap keringat agar tetap nyaman ketika berjualan bakso.
NV 2
Ketika sedang melayani orang membeli bakso terlihat gemulai dan melentik-lentikkan jarinya.
Dari semua hal tentang sentuhan misalnya ketika bersalaman, menggenggam tangan, berciuman, sentuhan di punggung, mengelus-elus, pukulan, dan lain-lain. Semua menunjukkan kefeminiman keanimaan dari seorang laki-laki, bahkan tidak ada gejala-gejala yang menunjukkan animus sama sekali. Waria bisa lebih feminim dari pada wanita itu sendiri.
NV 3
Suka memainkan mata, apalagi ketika ada laki-laki yang melintas di jalan, ekspresinya juga terlihat lebih antusias ketika berbicara dengan laki-laki, kadang menggunakan isyarat untuk menjelaskan maksud dari yang dibicarakannya.
Waria menjadi semakin antusias dan genit jika berinteraksi dengan laki-laki.
NV 4
Sikap duduknya menyimpuh seperti seorang wanita, cara berjalannya melenggak-lenggok dan kadang suka memamerkan bokongnya.
Waria ingin terlihat menjadi wanita yang seutuhnya. Waria mengidentifikasi perilaku wanita agar dapat memerankan peran wanita dengan sempurna.
NV 5
Observee berbicara dengan suara yang lemah lembut, dan nadanya dibuat-buat mirip arti ‘Wendy Cagur’, kadang berbicara dengan intonasi yang cepat, tapi ketika berbicara dengan ‘umi’nya dia berbicara pelan, suaranya tidak menunjukkan kalau dia itu sebenarnya adalah laki-laki.
Karena keinginan untuk menjadi wanita seutuhnya, waria juga berusaha semirip mungkin dengan wanita normal.
Selasa, 14 Juni 2011 (21.00-22.30 WIB)
NV 1
Pakaiannya sama seperti ketika observasi pertama dilakukan, namun terlihat sekarang memakai giwang. Akan tetapi tidak memakai make up karena memang sudah malam
Waria berusaha mengidentifikasi perilaku wanita agar menjadi mirip dengan wanita. Namun tetap saja ada hal yang janggal dalam penampilannya.
NV 2
Mbk Susi melayani dengan baik pembeli bakso, walaupun itu sudah larut malam, gerak tangannya ketika mengambilkan mangkok, meracik bakso dan juga mengambil kuah terlihat feminim sekali. 
Waria lebih terkesan feminim dari pada wanita normal.
NV 3
Ditengah pembicaraan mbk Susi memamerkan kebolehannya menyinden dan menari, gerak tangannya sangat gemulai sekali, begitu juga dengan suara nyanyiannya.
Waria juga memiliki keahlian seperti wanita, bahkan bisa lebih baik dari pada wanita normal.
NV 4
Ketika itu sifat duduknya lebih feminim lagi, begitu juga cara berjalan, cara bicara maupun eksprisinya, karena ada laki-laki yang mengajak dia berinteraksi dan bisa nyaman berbicara masalaha anjing, masa lalunya dan rencana masa depannya.
Waria akan lebih feminim jika ada laki-laki yang mengajaknya berinteraksi.
NV 5
Nada suaranya juga menunjukkan hal yang lebih sopan dan lebih santun.
Hal tersebut menunjukkan kalau waria juga ingin tampil yang baik di mata laki-laki.
Kamis, 16 Juni 2011 (10.00-13.00 WIB)
NV 1
Pakaian yang dikenakan ganti, sekarang memakai kaos warna orange dan training berwarna biru donker. Tidak memakai make up dan juga tidak memakai giwang. Namun, tetap terlihat bersih dan terawat.
Waria juga bisa berdandan secara minimalis sesuai kebutuhan saja.
NV 2
Ketika bersalaman dan cium pipi kiri dan kanan maupun ketika mendandani mbk Susi terlihat sangat hati-hati sekali, kadang juga terlihat mengambil dengan tangan yang dilentikkan.
Perilaku non verbal waria adalah hasil identifikasi dari perilaku non verbal wanita normal.
NV 3
Kalau berbicara suka mencibirkan bibirnya, dan juga bila tersenyum selalu menunjukkan giginya yang gingsul agar lebih manis.
Waria juga ingin terlihat seperti wanita dan dianggap seperti wanita normal, walaupun waria juga sadar kalau dia adalah seorang laki-laki.
NV 4
Cara berjalanya genit sekali, dengan melenggak-lenggokkan pantatnya. Apalagi ketika dia sedang menunjukkan kebolehannya menari.
Kadang hasil identifikasi waria pada wanita normal sering dilebih-lebihkan sehingga terjadi over acting.
NV 5
Ketika selesai mencuci piring, mbak Susi melanjutkan lagunya dan terdengar jelas suaranya sangat merdu sekali.
Pada dasarnya suara waria tetap terlihat kelaki-lakiannya, namun untuk menutupi hal itu, waria menggunakan teknik falseto untuk membuat suara laki-lakinya terdengar suara wanita.

PEMBAHASAN
Dari hasil observasi yang telah diperoleh maka menunjukkan bahwa waria mempunyai karakteristik perilaku yang berbeda dengan wanita sejati dan laki-laki sejati. Perbedaan tersebut salah satunya terlihat dari perilaku non-verbalnya. Perilaku non-verbal yang ditunjukkan oleh waria pada umumnya lebih feminim jika dibandingkan dengan wanita sejati. Dari hasil observasi yang telah dilakukan karakteristik perilaku non-verbal pada waria dapat terlihat pada aspek, yaitu:
  • Komunikasi objek, dalam hal ini dilihat dari penggunaan pakaian waria. (NV 1)
  • Sentuhan. Sentuhan dapat termasuk: bersalaman, menggenggam tangan, berciuman, sentuhan di punggung, mengelus-elus, pukulan, dan lain-lain. (NV 2)
  • Gerakan tubuh. Dapat berupa: kontak mata, ekspresi wajah, gerak isyarat, sikap tubuh. (NV 3)
  • Postur tubuh dan gaya berjalan. Cara seseorang berjalan, duduk, berdiri dan bergerak memperlihatkan ekspresi dirinya. (NV 4)
  • Sound (suara). Berupa nada, kecepatan dan intonasi. (NV 5)
Dalam hal pakaian, waria cenderung lebih merasa nyaman jika menggunakan pakaian wanita, begitu juga dengan make-up dan tata rias tubuhnya. Waria yang menjadi objek observasi adalah seorang penjual bakso yang biasanya menggunakan pakaian wanita, misalnya menggunakan rok pantai dan kaos. Untuk tata rias wajah waria cenderung menekankan pada bagian alis dan matanya. Sedangkan ketika bersalaman, cium pipi kanan dan pipi kiri, melayani pembelinya waria terlihat sangat gemulai dan agak terkesan lebay. Begitu juga dengan cara duduk, cara berjalan, cara bicaranya, semuanya menunjukkan sisi feminim, bahkan sudah tidak terlihat lagi sisi maskulinitasnya. Selain itu, nada suara waria juga terkesan dilembut-lembutkan. Waria sering menggunakan teknik falseto untuk membuat suara mereka lebih mirip dengan suara wanita. Namun, karakteristik suara laki-lakinya masih tetap bisa didengar.
Pada dasarnya waria bisa disebut dengan transeksual, yang mana transeksual merupakan suatu kelainan dimana penderita merasa tidak nyaman dan tidak sesuai dengan jenis kelamin anatomisnya sehingga penderita ingin mengganti kelaminnya (dari laki-laki menjadi wanita) dan cenderung berpenampilan menyerupai wanita. Itu semua tidak lain karena kelainan psikologis yang ada dalam dirinya. Mereka merasa lebih nyaman untuk berperilaku seperti wanita, berpakaian wanita, berdandan seperti wanita bahkan berpacaran dengan laki-laki. Jika perilaku tersebut membuat mereka nyaman, maka menurut teori psikologi perilaku yang membuat mereka merasa nyaman akan tetap diasosasikan sedangkan perilaku yang tidak membuat mereka nyaman akan didisasosiasikan. Maka dari itu mereka memperoleh kenyamanan dari gaya komunikasi yang ‘ngondek’ dan mirip seperti wanita bahkan lebih over acting lagi.
Semua tingkah laku waria berusaha untuk menjadi mirip bahkan sama dengan wanita normal. Begitu juga ketika melakukan komunikasi, baik itu secara verbal maupun non-verbal. Dalam komunikasi non-verbal, waria berusaha mengidentifikasi perilaku-perilaku yang dilakukan oleh wanita normal, baik itu dari segi dandanan, cara duduk, cara berjalan, gaya bicara. Namun, walaupun begitu tetap saja terlihat ada sesuatu yang janggal dan tidak pada tempatnya. Karena memang mereka pada kodratnya adalah laki-laki. Atau jika terpaksa ada yang mengatakan bahwa mereka adalah wanita yang terperangkap dalam tubuh seorang laki-laki atau yang lebih parah lagi ada yang mengatakan bahwa mereka adalah wanita tanpa vagina.

KESIMPULAN
Dari observasi yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
·         Waria mempunyai karakteristik komunikasi non verbal yang menyerupai wanita.
·         Itu sebabkan karena waria berusaha mengidentifikasi semua perilaku wanita normal agar mereka dapat diterima dalam masyarakat.
·         Waria berpakaian seperti wanita dan menggunakan make up, dengan tata rias seperti wanita.
·         Cara duduk, berjalan, berbicara waria sangat feminim, bahkan lebih feminim dari pada wanita.
·         Suara waria sebenarnya masih terdengar seperti laki-laki, namun dengan teknik falseto mereka membuat suaranya mirip seperti wanita.
·         Pada dasarnya semua perilaku dan bentuk komunikasi non verbal waria sama seperti wanita yang normal, namun mereka juga tidak menutup mata bahwa mereka adalah seorang laki-laki.



REFERENSI
·         Koeswinarno. 2004. Hidup Sebagai Waria. PT. LkiS Pelangi Aksara: Yogyakarta.
·         Sopjan, Merlyn. 2005. Jangan Lihat Kelaminku. Galang Press: Yogyakarta
·         Data dari badan sosial budaya kota malanh tahun 2007-2009.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar