Teori Erik Erikson dipilih dan disajikan dalam buku yang
berjudul “Personality Theory Researche” oleh Pervin dan Jhon sebab
dianggap sebagai teori yang mendukung perkembangan dalam ilmu psikologi. Dengan
kata lain teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif
karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat
representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang
merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua,
menekankan pada pentingnya perubahan yang terjadi pada setiap tahap
perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir adalah
menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian
klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan
dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan. Melalui teorinya
Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai perilaku
manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami
persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern
seperti ini.
SKETSA BIOGRAFI ERIK ERIKSON
Erik
Homburger Erikson dilahirkan di Frankurt, Jerman pada tanggal 15 juni 1902.
Sangat sedikit yang bisa diketahui tentang asal usulnya. Ayahnya adalah seorang
laki-laki berkebangsaan Denmark yang tidak dikenal namanya dan tidak mau
mengaku Erikson sebagai anaknya sewaktu masih dalam kandungan dan langsung
meninggalkan ibunya. Ibunya bernama Karla Abrahamsen yang berkebangsaan Yahudi.
Saat Erikson berusia tiga tahun ibunya menikah lagi dengan seorang dokter
bernama Theodore Homburger, kemudian mereka pindah kedaerah Karlsruhe di Jerman
Selatan. Nama Erik Erikson dipakai pada tahun 1939 sebagai ganti Erik
Homburger. Erikson menyebut dirinya sebagai ayah bagi dirinya sendiri, nama
Homburger direduksi sebagai nama tengah bukan nama akhir.
Sebelum
melihat lebih jauh mengenai teori dari Erik Erikson, maka kita tidak bisa
melewati sketsa biografi Erik Erikson yang juga berperan/mendukung terbentuknya
teori psikoanalisis. Pencarian identitas tampaknya merupakan fokus perhatian
terbesar Erikson dalam kehidupan dan teorinya.
Pertama
kalinya Erikson belajar sebagai “child analyst” melalui sebuah tawaran/ajakan
dari Anna Freud (putri dari Sigmund Freud) di Vienna Psycholoanalytic Institute
selama kurun waktu kurang lebih tahun 1927-1933. Bisa dikatakan Erikson menjadi
seorang psikoanalisis karena Anna Freud. Kemudian pada tanggal 1 April 1930
Erikson menikah dengan Joan Serson, seorang sosiologi Amerika yang sedang
penelitian di Eropa. Pada tahun 1933 Erikson pindah ke Denmark dan di sana ia
mendirikan pusat pelatihan psikoanalisa (psychoanalytic training center). Pada
tahun1939 Erikson pindah ke Amerika Serikat dan menjadi warga Negara tersebut,
selain itu secara resmi pun dia telah mengganti namanya menjadi Erik Erikson.
Tidak ada yang tahu apa alasannya memilih nama tersebut.
TEORI
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat
berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan
egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran
dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa
Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson
lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah
seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat
besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar.
Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud,
dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika
dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil
interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai
tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan
psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa
tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi
matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang
diajukan dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal,
dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga
dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan
sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah
sebuah asumsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap
yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses
yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap
“Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson
mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan
prinsip epigenetic. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah
rangkaian kata yaitu :
(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian
manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga
pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong,
mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
(2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk
memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna
berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat
berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun
1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara
terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan
istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap
tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi
yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic
yang berarti “emergence” atau kemunculan. Gambaran dari perkembangan cermin
mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan
waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul , dan akan selalu
terjadi pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa,
secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap
itu sendiri. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga
disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada
didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus
dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan bagian
yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar
personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap
yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap
tahap.
Erikson percaya “epigenetic principle” akan mengalami
kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas dapat melihat krisis psikososial
yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap manusia yang sudah dilukiskan
dalam bentuk sebuah gambar. Di mana gambar tersebut memaparkan tentang delapan
tahap perkembangan yang pada umumnya dilalui dan dijalani oleh setiap manusia
secara hirarkri seperti anak tangga. Di dalam kotak yang bergaris diagonal
menampilkan suatu gambaran mengenai adanya hal-hal yang bermuatan positif dan
negatif untuk setiap tahap secara berturut-turut. Periode untuk tiap-tiap
krisis, Erikson melukiskan mengenai kondisi yang relatif berkaitan dengan
kesehatan psikososial dan cocok dengan sakit yang terjadi dalam kesehatan
manusia itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat
dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih
menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut
dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori yang
dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial
Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar
teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori
perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara
mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu
diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud
dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa.
Meminjam kata-kata Erikson melalui seorang penulis buku
bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana
dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing
untuk mekar, sampai semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan
yang berfungsi. Oleh karena itu, melalui delapan tahap perkembangan yang ada
Erikson ingin mengemukakan bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif
(adaptasi keliru) dan malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung
kalau satu tahap tidak berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan
baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif dan juga malignansi,
selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu berinteraksi dengan pola-pola
tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi serta ritualisme
yang berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan. Menurut Erikson delapan
tahap perkembangan yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun
secara hirarkri, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang mengalami
ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnya dapat
berlangsung kembali guna memperbaikinya.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson
memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan
di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas.
Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap
manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :
Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada
umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah
menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk
hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik
apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan
tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang
kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu
memiliki peranan yang secara kualitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya
yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat,
konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan
mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai
suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya
dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang
bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman,
dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi
belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya
kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga
mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan
kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada
hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi
memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa
tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus
serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu
melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif.
Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang
selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa
orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan memgunakan seluruh upayanya
dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata lain,mereka akan
mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila
pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada
ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa
terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah,
sinis, maupun depresi.
Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat
menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan
kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi
dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan
baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus
percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan
maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap
saat.
Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan
antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat
mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam
diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau
segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih
dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia
senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola tertentu
(ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di
mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat
(numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan
mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat
bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar bagaimana orang
menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan,
penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya, apabila dalam
hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan
merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidupan yang
lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri dan
dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat
diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau
sebaliknya anak akan memuja orang lain.
Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular
stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia
18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini
adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan
ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya
terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu
kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap
salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu.
Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan
anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang
menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya,
anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan.
Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya,
sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap
pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang
dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk
menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan,
memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi
pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang
gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah
karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak
sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu
mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata
lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang
seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya
yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar
adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri
dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan
memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya
perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut
Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya
apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak
baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut
Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu
menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka
lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila
tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu
kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan
rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya terdapat
keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan
atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa
“kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan
kewajiban”.
Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu
dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak
sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan
mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai
sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan
maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain
dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan
merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut Alwisol
mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas
kasih.
Inisiatif vs Kesalahan
Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor
(genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada
suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan
tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya
gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain
merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap
tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa
memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan
sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orangtua dapat
mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan
ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada
masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang
berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya
mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap
menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari
maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang
berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat
pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu
mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang
lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus
dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak
saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak
selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri
(inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak
memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan
berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan,
maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain
itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan
impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang
terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan
menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah
suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak berdasarkan
kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan
masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak
terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang
pernah dilakukan sebelumnya.
Kerajinan vs Inferioritas
Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia
sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan
dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan
menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area
sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah,
sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong,
guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain
sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap
rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring
bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk
dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan
bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain.
Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda
kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas),
sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu,
peranan orangtua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang
menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang
dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih
banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya
tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka.
Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan
rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai
keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin
maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang
mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah
inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak
berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik
dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan
menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif
yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun
berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala
sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak
tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut
biasanya dikenal dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain
jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau
metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang
sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada
aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain
menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.
Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai
pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian
identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang
harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang
mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai
tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui
siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat.
Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga,
sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas
terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya
dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan
peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat
dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan
dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan
bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu
terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego
merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis.
Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada
dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh
karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap
sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik,
disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya
ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan
identity confusion atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego
lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak
menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam
lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme.
Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara
maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih
kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini
dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari
keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan
mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang
menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka
sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat
dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas
dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna
tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah
masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya.
Ritualisasi
yang nampak dalam tahap adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap
individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang
berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai
kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri.
Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang
biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai
kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam
kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin
dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang
berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk
menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam
periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas,
sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa
tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat,
tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara
dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan
orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan
masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk
dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi
harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta.
Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala
bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta
yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun
juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya
afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan
mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat,
kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang
terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
Generativitas vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan
ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Apabila
pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai,
demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat
mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu
(generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah
perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi
yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap
memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata
stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan
dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli,
sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu
malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan
secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya
ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya
keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif
yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi
generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang
terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia
dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa
merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami
serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa,
sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung
dengan baik dan menyenangkan.
Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia
senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas.
Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup
berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja
ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan.
Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian
orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya,
karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau
tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang
berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang
memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti
menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang
jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap
datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih
kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif yang biasa
disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan
dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat
dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan
sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan
menyesali kehidupan sendiri.
Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan
kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu
sikap kebijaksanaan.
Pada
dasarnya pusat dari perumusan konsep Erikson meliputi beberapa bagian yang
dianggap memiliki aspek penting seiring berjalannya roda dalam kehidupan
manusia yaitu :
- Identitas ego yang menurut
Erikson berarti bahwa perkembangan setiap individu adalah di dalam
kerangka lingkungan dan budaya di mana setiap individu dapat menemukan
dirinya yang sebenarnya.
- Langkah-langkah guna
mengembangkan psikososial yang epigenetik. Pada awalnya teori Erikson
bermula dari teori Freud mengenai psikoseksual namun kemudian dikembangkan
oleh Erikson ke luar dari pendapat tersebut dengan mempertimbangkan
perkembangan ego dalam konteks psikososial.
- Perkembangan hidup manusia pada
dasarnya berawal atau beredar dari masa bayi sampai masa usia senja/tua
sesuai dengan delapan tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson.
- Kekuatan ego, yang menandai
masing-masing delapan langkah-langkah perkembangan manusia adalah kebaikan
seperti harapan, akan tujuan dan kebijaksanaan (Christopher F.Monte,
Beneath The Mask an Introduction of Theories of Personality).
Hal lain yang menurut Erikson penting bahwa apabila
kecenderungan dari segi positif yang diinginkan tidak dapat dicapai dalam tahap
sebelumnya, maka pada tahap-tahap sesudahnya semua itu dapat terulang kembali
untuk dapatdiraih dan dikembangkan.
Setelah mempelajari teori perkembangan kepribadian Erikson
ada hal positif dan negatif yang muncul dalam pemikiran saya sebagai pembuat
makalah mengenai Teori Psikososial dari Erik Erikson yaitu bahwa pencetus ide
dalam teori ini, dalam hal ini Erikson setidak-tidaknya berhasil memberi arah
perkembangan kepribadian yaitu guna pencapaian identitas ego berikut
pematangannya. Dan hal ini diterangkan maupun dipaparkan oleh Erikson secara
baik dan lengkap melalui delapan tahap yang ada. Sedangkan dari sisi negatifnya
bahwa Erikson menetapkan hubungan antar tahap agak mengikat, seolah-olah tahap
sebelumnya begitu menentukan secara langsung kualitas dan kuantitas pada tahap
berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar