Rabu, 05 Februari 2014

RASIONALISME (RENE DESCARTES) & EMPIRISME (DAVID HUME)

A.    Rasionalisme (Rene Descrates)
1.      Teori Descartes
Descartes merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat dipengaruhi oleh fisika baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak menerima dasar-dasar filfasat Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah neo-self-confidence yang dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan. Dia berhasrat untuk menemukan “sebuah ilmu yang sama sekali baru pada masyarakat yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara umum, apakah bersifat kontinim atau terputus.”

Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya “semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.” Pada dasarnya, visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan matematika yang berazas pada kepastian dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan salah.
Untuk menemukan sebuah titik kepastian itu Descartes mulai dengan kesangsian atas segala sesuatu. Dengan metode kesangsian, Descartes memahami sebagai aturan-aturan yang dapat dipakai untuk menemukan fundamentum certum et inconcussum veritatis (kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh). Metode ini disebutnya “le doute methodique (metode kesangsian). Jadi, berfilsafat bagi Descartes berarti melontarkan persoalan metafisis untuk menemukan sebuah fundamen yang pasti, yaitu suatu titik yang tidak bisa goyah seperti aksioma matematika. Yang ditemukan dengan metode kesangsian adalah kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu cogito atau kesadaran diri. Cogito itu kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan, sehingga dia menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas atau disebut sebagai kebenaran yang Clear and Distinct.

2.      Teori Descartes tentang Pengetahuan
Descartes berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah dari dalam diri manusia itu sendiri. Descartes mengatakan bahwa kemampuan berpikir manusia yang sekarang tidak lagi semurni dan sekokoh sebagaimana jika manusia menggunakan nalarnya sendiri sejak dilahirkan karena sejak kecil cara berpikir manusia sudah dipengaruhi oleh cara berpikir orang lain yang ditanamkan melalui pendidikan.
Pada masa mudanya, Descartes berusaha untuk mendapatkan pendidikan sebanyak-banyaknya dengan sekolah dan banyak membaca buku yang ditulis oleh para cendekiawan. Tetapi, setelah menelusuri berbagai pendidikan tersebut Descartes menemukan bahwa masih begitu banyak hal yang dia dapatkan yang belum pasti dan masih banyak diperdebatkan. Akhirnya dia memutuskan untuk mencabut semua akar pendidikan yang telah didapatkannya dan menggantinya dengan pendapat lain yang lebih baik ataupun dengan pendapat yang sama tetapi telah disesuaikannya berdasarkan nalarnya sendiri. Descartes yakin bahwa dengan cara itu dia akan berhasil mengarahkan hidupnya ke arah yang jauh lebih baik dibanding jika dia membangunnya di atas landasan tua, yaitu apabila dia hanya bertumpu pada prinsip-prinsip yang diserapnya di masa muda tanpa pernah diperiksa kebenarannya. Hal ini dengan jelas dikatakannya dalam bukunya Risalah tentang Metode pada bagian yang pertama.
Dalam bukunya Risalah tentang Metode, Descartes mengemukakan empat prinsip yang dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar benar dan tidak dapat diragukan atau disanksikan lagi, yaitu:
a.       Tidak pernah menerima apapun sebagai benar kecuali jika saya mengetahuinya secara jelas bahwa hal itu memang benar, artinya menghindari secara hati-hati penyimpulan yang terlalu cepat dan praduga, dan tidak memasukkan apapun dalam pikiran saya kecuali apa yang tampil sedemikian jelas dan gamblang di dalam nalar saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.
b.      Memilah satu per satu kesulitan yang akan saya telaah menjadi bagian-bagian kecil sebanyak mungkin atau sejumlah yang diperlukan, untuk memudahkan penyelesaiannya.
c.       Berpikir secara runtut dengan mulai dari objek-objek yang paling sederhana dan paling mudah dikenali, lalu meningkat sedikit demi sedikit sampai ke masalah yang paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan objek-objek yang secara alami tidak beraturan.
d.      Membuat perincian yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang demikian menyeluruh sampai yakin bahwa tidak ada yang terlupakan.
Lebih lanjut Descartes mengatakan bahwa sebenarnya keempat prinsip di atas bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Descartes mengatakan, “rantai panjang dari pertimbangan yang sederhana dan mudah yang biasa dipakai oleh para ahli ilmu ukur untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan dari pemaparan-pemaparan mereka yang paling sulit, telah memimpin saya membayangkan bahwa segala sesuatu, sejauh pengetahuan manusia sanggup mencapainya, saling berhubungan dengan cara yang sama, dan bahwa tidak ada sesuatupun yang terlalu terpencil dari kita sehingga berada di luar jangkauan kita, atau terlalu tersembunyi sehingga kita tidak dapat menemukannya, asal saja kita menghindarkan diri dari menerima hal yang salah sebagai benar, dan senantiasa melindungi dalam pikiran kita aturan yang perlu untuk pengambilan kesimpulan (deduksi) mengenai satu kebenaran dari yang lainnya”. Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Descartes menganggap benar bahwa segala pengetahuan bersumber dari rasio manusia. Bahwa tidak ada satupun hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia asalkan manusia mau menggunakan nalarnya.
Descartes ingin mendapatkan kebenaran yang benar-benar benar sehingga kebenaran tersebut tidak dapat lagi dibantahkan ataupun diragukan. Oleh karena itu, Descartes memulainya dengan meragukan segala sesuatu yang diterimanya dari luar melalui indera karena menurutnya ada kalanya indera menipu kita. Bahkan keberadaan dirinya sendiri pun diragukannya juga karena menurutnya terkadang semua pemikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur sehingga dia tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah dia sedang bermimpi atau tidak.
Pada akhirnya Descartes menemukan bahwa meskipun segala sesuatu dapat diragukannya, satu hal yang tidak dapat diragukannya adalah fakta bahwa dia sedang ragu-ragu. Descartes menemukan fakta bahwa dia sedang ragu-ragu adalah fakta yang tidak dapat dibantah oleh siapapun atau apapun juga. Jika dia sedang ragu-ragu, maka hal itu berarti membuktikan bahwa dia sedang berpikir. Jika dia tahu bahwa dia sedang berpikir, maka haruslah ada sang pemikir, yaitu dirinya sendiri. Jika pemikir harus ada, maka dirinya pun harus ada. Bahkan ketika dia membayangkan seolah-olah dirinya sama sekali tidak memiliki badan dan tidak ada dunia ataupun ruang tempat dia berada, hal itu justru membuktikan dengan jelas dan pasti bahwa dia ada. Hal ini kemudian menjadi aksiomanya yang paling terkenal, “Je pense donc je suis atau cogito ergo sum” yang artinya “saya berpikir, maka saya ada”. Akhirnya, hal ini menjadi prinsip pertama dari filsafatnya. Hal ini dijelaskannya dalam bukunya Risalah tentang Metode.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa filsafat Descartes dilandasi oleh pencarian suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal oleh siapapun atau apapun dengan cara berpikir dan bernalar dengan rasio yang murni yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri. Metode meragukan segala sesuatu di awal adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan lebih terperinci sehingga lebih jelas dan benar.

3.      Teori Descartes tentang Agama
Kesangsian metodis sudah menemukan cogito, yakni subjektivitas, pikiran atau kesadaran. Descartes lalu menyebut pikiran sebagai idea bawaan yang sudah melekat sejak kita dilahirkan ke dunia ini. Dia menyebutnya “res cogitans”. Dalam kenyataan, aku ini bukan hanya pikiran, tapi juga sesuatu yang bisa diraba dan dilihat. Kejasmanianku ini bisa saja merupakan kesan yang menipu, tetapi bahwa kesan itu ada sejak lahir, meskipun tidak selalu sempurna, menunjukkan bahwa kejasmanian juga merupakan sebuah idea bawaan. Descartes menyebutnya keluasan atau “res extensa”. Akhirnya, dia juga berpendapat bahwa aku juga memiliki idea tentang yang sempurna. Lalu, dia mengatakan bahwa Allah juga merupakan idea bawaan.
Pertanyaannya sekarang, Apakah ketika idea itu hanya ada dalam pikiran kita atau merupakan kenyataan di luar pikiran juga? Bahwa kita memiliki idea pikiran, Allah, dan keluasan apakah menunjukkan adanya ketiga itu. Tentang yang pertama, Descartes sudah mengatakan bahwa aku berpikir maka ada, maka pikiran adalah suatu substansi, yaitu kenyataan yang berdiri sendiri, dan disebutnya jiwa. Tentang keluasan atau kejasmanian, Descartes mengatakan bahwa mustahil Allah mahabenar itu menipu kita tentang adanya kejasmanian. Karena itu, materi adalah juga suatu substansi. Akhirnya, Allah sendiri suatu substansi, maka Allah itu ada. Menyimpulkan bahwa kita memiliki idea Allah, maka Allah ada, disebut argumen ontologis. Di sini Descartes termasuk filsuf yang membuktikan adanya Allah sejalan dengan Anselmus dan Thomas. Lebih daripada itu, Descartes sebetulnya mengandaikan bahwa adanya Allah menjadi ukuran segala pengetahuan, termasuk menjamin aku yang menyangsikan dapat mencapai kebenaran.

B.     Empirisme (David Hume)
1.      Teori Hume
Menurut Hume pemahaman manusia dipengaruhi sejumlah kepastian dasar tertentu mengenai dunia eksternal, masa depan, sebab dan kepastian-kepastian ini merupakan naluri alamiah manusia, yang tidak dihasilkan ataupun bisa dicegah oleh akal budi atau proses pemikiran manusia. Dengan naluri alamiah manusia dapat mencapai kepastian-kepastian yang memungkinkan pengetahuan manusia.
Teori Hume ini meruntuhkan teori rasionalisme yang mengatakan bahwa sumber pengerahuan adalah melalui rasio atau akal. Menurut Hume, pengetahuan itu bersumber dari pengalaman yang diterima oleh kesan indrawi. Hal demikian mendorong bagi kita bahwa untuk menemukan sebuah pengetahuan memerlukan pengalaman kita, sehingga untuk membuktikan sebuah kebenaran akan pengetahuan itu memerlukan penelitian dilapangan, seperti observasi atau percobaan, yang mana dengan cara tersebut merupakan titik tolak dari pengetahuan manusia.
Hume tidak menerima subtansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedangkan gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu.
Banyak menyalahpahami pandangan-pandangan Hume, seolah-olah dia ingin menghancurkan filsafat. Sebetulnya ingin melengkapi filsafat dengan sebuah metode ilmiah yang rigorus dan dalam usaha berani itu dia mengambil sikap skeptis. Hume prihatin melebih-lebihkan kemampuan akal manusia. Disamping tercampur dengan dogma-dogma Katolik, jargon-jargon politis dan takhayul-takhayul rakyat. Karena itu Hume ingin membersihkan filsafat dari simbol-simbol religius dan metafisis (sekularisasi).
            Skeptisisme mendasar  dalam pikiran Hume dapat dilukiskan sebagai serangan terhadap tiga front pemikiran. Pertama, Hume ingin melawan ajaran-ajaran rasionalistis tentang idea-idea bawaan serta anggapannya bahwa jagad terdiri dari sebuah keseluruhan yang saling bertautan. Dalam hal ini dia setuju dengan pandangan-pandangan Berkeley dan Locke. Kedua, Hume menyerang pemikiran-pemikiran religius, entah dari Katolik, Anglikan, maupun dari para penganut deisme yang percaya  bahwa Allah membiarkan alam semesta berjalan mekanis tanpa campurtangan-Nya. Agama masih percaya adanya sebab tertinggi dan Hume melawan ide kausalitas. Serangan ketiga diarahkan kepada empirisme sendiri yang masih percaya pada adanya substansi.
Selanjutnya Hume berusaha menjelaskan bagaimana berpikir bahwa substansi itu ada. Menurutnya, pikiran mengamati ciri-ciri yang senantiasa ada bersama-sama. Imajinasi lalu membuat kesatuan artifisial atas ciri-ciri itu dan pikiran pun mendapat kesan seolah-olah substansi itu ada. Menurut Hume, kesatuan ciri yang kemudian disebut substansi itu hanyalah fiksi saja, khayal. Substansi hanyalah kumpulan persepsi belaka. Kalau objek di luar kita disangsikan adanya, bagaimana dengan kesadaran diri atau ‘aku’? Di dalam menjawab ini Hume mengambil sikap yang paling skeptis. Berkeley yang tidak percaya akan adanya objek luar masih percaya adanya substansi rohani, yakni ‘aku’. Akan tetapi Hume juga mempersoalkan adanya substansi rohani itu. Menurutnya, kita ini selalu menerima kesan, idea, dan persepsi, seperti: panas, dingin, berat, senang, sedih, nikmat, dst. Sampai kita mendapat kesan bahwa ada suatu kesatuan ciri yang senantiasa ada bersama-sama dan kita sebut ‘diriku’. Semua ini, menurut Hume, hanyalah kumpulan persepsi saja, “a bundle of perceptions” . kalau persepsi-persepsi itu disingkirkan, kita segera kehilangan ‘diriku’. Misalnya, sewaktu tidur, katanya ‘diriku’ itu tidak ada. Yang paling pasti adalah setelah mati, sebab dengan kematian segala persepsi  betul-betul dihancurkan dan dilenyapkan, sehingga membuat ‘diriku’ ini non-ensitas (bukan kenyataan).

2.      Masalah Kausalitas (Sebab-Akibat)
Sejak lama dalam filsafat, bahkan juga dalam agama, diyakini adanya hubungan sebab akibat atau kausalitas yang terjadi di jagad raya ini. Agama memetafisikkan kausalitas sebagai sebuah kenyataan akhir yang disebut Allah, dan filsafat menanganinya sebagai masalah tentang dunia luar. Dalam konsep kusalitas diandaikan bahwa kalau ada peristiwa A terjadi lalu B terjadi, disimpulkan bahwa ada hubungan niscaya antara A dan B. Hume berpendapat bahwa pendapat tentang hubungan niscaya itu tidak benar dan didasarkan pada sebuah kebingungan belaka. Menurutnya segala peristiwa yang bisa kita amati memiliki hubungan tetap satu sama lain, tetapi hubungan tetap itu tidak boleh dianggap sebagai hubungan sebab akibat. Dalam kasus api menyala, menyentuh kertas, dan kertas terbakar tak bisa disimpulkan bahwa api menyebabkan kertas terbakar (propter hoc), sebab bisa kita ketahui hanyalah bahwa kertas terbakar sesudah api menyentuhnya (post hoc). Yang bisa kita amati hanyalah bahwa gejala yang satu menyusul gejala yang lain, sedangkan kausalitas tak bisa kita amati. Hume mengatakan bahwa konsep kausalitas hanyalah “animal faith” (kepercayaan naif) kita belaka yang tidak punya dasar.
Dengan menyerang konsep kausalitas, Hume sebenarnya juga mengkritik metode induksi yang dirintis sejak Francis Bacon. Metode ini didasarkan pada pengamatan atas gejala khusus yang satu disusul oleh gejala khusus yang lain, lalu disimpulkan adanya kausalitas universal di antara keduanya. Karena suatu gejala muncul lagi dan lagi, lalu orang menyimpulkan bahwa gejala itu pasti bersifat umum dan suatu hukum alam dapat disimpulkan darinya. Induksi, menurut Hume, juga didasarkan pada animal faith, karena orang mengambil kesimpulan gegabah dengan cara melompat dari hal-hal khusus ke hal yang umum. Padahal dari penjumlahan beberapa kasus khusus (betapapun banyaknya), kita tak bisa menyimpulkan suatu hukum umum yang mencakup semua kasus yang ada dan mungkin ada. Karena itu ilmu pengetahuan tak akan pernah mencapai taraf keniscayaan. Paling-paling ilmu pengetahuan hanya berada pada taraf probabilitas.

3.      Teori Hume Tentang Agama
Hume mengambil sikap skeptik terhadap agama juga. Pertama-tama dia mengkritik deisme yang berkembang pada zaman Pencerahan. Kaum deis menjelaskan bahwa jagad raya ini bekerja mekanis seperti arloji dan Allah tidak lagi campur tangan dalam sejarah. Hume tidak hanya menganggap bahwa ide mekanistis itu hanyalah kepercayaan naif belaka tentang kausalitas, tetapi juga bahwa monoteisme tak punya dasar, khususnya anggapan bahwa dunia ini jahat dan buruk, maka bisa disangkal bahwa Allah itu sempurna. Malah boleh saja kita beranggapan bahwa Allah itu sumber kejahatan juga. Yang jelas, menurut Hume, kita tidak tahu pasti tentang apa itu dunia yang lain selain dunia ini. Sikap skeptis Hume condong pada agnotisisme, yaitu anggapan bahwa kita tidak bisa tahu apakah Tuhan ada atau tidak.
Terhadap ajaran tentang keabadian atau immortalitas, Hume juga melontarkan kritiknya. Orang kebanyakan berpendapat bahwa kita berbuat baik di dunia ini karena percaya akan adanya keabadian, jadi keabadian menjadi dasar sistem moral. Menurut Hume orang yang percaya akan pendapat macam itu hanya dikaburkan oleh ilusi-ilusi mereka belaka. Kita tidak perlu mengandalkan immortalitas untuk menyusun sebuah hukum moral di dunia ini. Manusia bisa mewujudkan cita-citanya tentang hidup sosial yang baik di dunia ini tanpa menunggu akherat. Seperti juga tentang Tuhan, kita tak punya pengalaman tentang hidup sesudah mati.
Dalam kritiknya atas agama Hume juga mengkritik ajaran tentang mukjizat. Ada lima argumen yang dilontarkannya. Pertama, sepanjang sejarah tak pernah ada mukjizat yang disaksikan secara kolektif oleh orang-orang cerdas. Kedua, adalah kecenderungan tetap manusia meyakini peristiwa-peristiwa luar biasa, tapi kecenderungan macam ini tidak membuktikan kebenaran adanya mukjizat. Ketiga, dalam sejarah mukjizat hanya terjadi ketika manusia ini belum maju dalam ilmu pengetahuan dan setelah ada kemajuan, ajaran tentang mukjizat justru dipersoalkan, maka sebetulnya mukjizat hanya diyakini oleh mereka yang berpikir infantil dan picik. Keempat, segala agama wahyu mempunyai klaimnya sendiri atas mukjizatnya masing-masing, maka tidak pernah ada kesempakatan empiris tentang mukjizat yang benar. Kelima, semakin ilmiah penelitian historis, semakin ragulah si sejarawan terhadap peristiwa-peristiwa mukjizat. Sejarawan bahkan akan menemukan bahwa mukjizat adalah tafsiran para nabi belaka untuk memperkenalkan ajaran iman yang baru.
Hume menyarankan bahwa sikap yang tepat terhadap agama adalah sikap “skeptisisme sehat”. Dia berpendapat bahwa agama bersumber pada takhayul, maka sikap yang tepat terhadapnya adalah membersihkan takhayul-takhayul itu. Kita harus mengembalikan manusia dan agama dari kenyataan adikodratinya ke kenyataan kodratinya yang empiris. Karena skeptisisme itu kita juga sulit menemukan konsep idea Hume sendiri tentang agama. Skeptisisme Hume sendiri pada gilirannya tak bisa dibuktikan secara empiris, maka tinggal sebagai spekulasi dari pihak Hume sendiri.

C.    Analisis Kritis
Ada beberapa kelemahan dari rasionalisme, yakni: Pertama, pengetahuan yang dibangun oleh rasionalisme hanyalah dibentuk oleh ide yang tidak dapat dilihat dan diraba. Eksistensi tentang ide yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat didukung oleh semua orang dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Kedua, kebanyakan orang merasa kesulitan untuk menerapkan konsep rasionalisme ke dalam kehidupan keseharian yang praktis. Ketiga, rasionalisme gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia. Banyak dari ide yang sudah pasti pada satu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain.
Hal lain yang dapat  dikritisi disini adalah perkataan Descartes yang mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang begitu terpencil atau begitu tersembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh manusia asalkan manusia mau menggunakan nalarnya. Akan tetapi, tidak semua hal di dunia ini bisa dimengerti oleh pemikiran kita. Kita hanyalah manusia yang terbatas. Hanya Allah yang tidak terbatas. Jika kita mau mencari kebenaran yang absolut, sampai kapan pun kita tidak akan menemukannya karena kebenaran yang absolut hanya dimiliki oleh Allah. Oleh karena itu, janganlah kita bersandar hanya pada pengertian kita sendiri melainkan melandaskannya pada Tuhan. Hal itulah yang menjadi kelemahan dari paham rasionalisme, yakni pencarian kebenaran hanya terbatas pada kebenaran koherensi saja. Sehingga paham ini lebih cenderung bersifat subjektif dan solipsistic (hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berada dalam benak orang yang berpikir tersebut). Oleh karena itu, melalui rasionalisme akan diperoleh pengetahuan tanpa adanya suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak.
Terlepas dari kelemahan tersebut, rasionalisme mampu menemukan prinsip, hukum, dalil yang bisa digunakan untuk generalisasi yang melampaui sifat empirik yang bervariasi. Hal itu karena rasionalisme menggunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuan. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Sehingga, rasionalisme telah menjadi pintu utama bagi kelahiran falsafah babak modern, yang pada gilirannya telah berhasil melahirkan berbagai aliran-aliran falsafat lainnya, termasuk aliran yang menentangnya.
Teori empirisme yang dikemukakan oleh Hume meruntuhkan teori rasionalisme yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah melalui rasio atau akal. Menurut Hume, pengetahuan itu bersumber dari pengalaman yang diterima oleh kesan indrawi. Hal demikian mendorong bagi kita, bahwa untuk menemukan sebuah pengetahuan kita memerlukan pengalaman kita. Dengan demikian, bahwa untuk membuktikan sebuah kebenaran akan pengetahuan itu memerlukan penelitian dilapangan, observasi, percobaan yang mana dengan cara-cara seperti itulah merupakan titik tolak dari pengetahuan manusia. Sehingga pengamatan kita akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu. Kriteria kebenaran yang dipakai dalam empirisme, tidak hanya mengacu pada kebenaran koherensi saja tetapi juga pada tataran kriterai kebenaran korespondensi (saling berhubungan antara pernyataan dengan realita yang ada).

Akan tetapi, empirirsme juga memiliki beberapa kelemahan. Pertama, Empirisme didasarkan kepada pengalaman. Tetapi apakah yang dimaksud dengan pengalaman? Pada satu waktu ia hanya berarti sebagai ransangan pancaindera. Lain waktu ia berarti sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan objektif yang sangat ditinggikan oleh kaum Empiris. Fakta tidak mempunyai apapun yang bersifat pasti. Kedua, sebuah teori yang sangat bergantung kepada persepsi pancaindera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera sering menyesatkan karena tidak memiliki perlengkapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta. Ketiga, Empirisme tidak memberikan kepastian. Apa yang disebut sebagai pengetahuan yang mungkin, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan.

4 komentar: