A. Rasionalisme (Rene Descrates)
1. Teori Descartes
Descartes merupakan orang
pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat dipengaruhi oleh fisika
baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak
menerima dasar-dasar filfasat Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya.
Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini
merupakan terobosan baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan
sebuah neo-self-confidence yang dihasilkan dari kemajuan ilmu
pengetahuan. Dia berhasrat untuk menemukan “sebuah ilmu yang sama sekali baru
pada masyarakat yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara
umum, apakah bersifat kontinim atau terputus.”
Visi Descartes telah
menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan
ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan
dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya “semua ilmu merupakan
pengetahuan yang pasti dan jelas.” Pada dasarnya, visi dan filsafat Descartes
banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan matematika yang berazas pada kepastian
dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan salah.
Untuk menemukan sebuah
titik kepastian itu Descartes mulai dengan kesangsian atas segala sesuatu.
Dengan metode kesangsian, Descartes memahami sebagai aturan-aturan yang dapat
dipakai untuk menemukan fundamentum
certum et inconcussum veritatis (kepastian dasariah dan kebenaran yang
kokoh). Metode ini disebutnya “le doute methodique (metode kesangsian).
Jadi, berfilsafat bagi Descartes berarti melontarkan persoalan metafisis untuk
menemukan sebuah fundamen yang pasti, yaitu suatu titik yang tidak bisa goyah
seperti aksioma matematika. Yang ditemukan dengan metode kesangsian adalah
kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu cogito atau kesadaran diri. Cogito
itu kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan, sehingga dia menerima suatu
kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas atau disebut sebagai kebenaran
yang Clear and Distinct.
2. Teori Descartes tentang
Pengetahuan
Descartes berpendapat bahwa
satu-satunya sumber pengetahuan adalah dari dalam diri manusia itu sendiri.
Descartes mengatakan bahwa kemampuan berpikir manusia yang sekarang tidak lagi
semurni dan sekokoh sebagaimana jika manusia menggunakan nalarnya sendiri sejak
dilahirkan karena sejak kecil cara berpikir manusia sudah dipengaruhi oleh cara
berpikir orang lain yang ditanamkan melalui pendidikan.
Pada masa mudanya, Descartes
berusaha untuk mendapatkan pendidikan sebanyak-banyaknya dengan sekolah dan
banyak membaca buku yang ditulis oleh para cendekiawan. Tetapi, setelah
menelusuri berbagai pendidikan tersebut Descartes menemukan bahwa masih begitu
banyak hal yang dia dapatkan yang belum pasti dan masih banyak diperdebatkan.
Akhirnya dia memutuskan untuk mencabut semua akar pendidikan yang telah
didapatkannya dan menggantinya dengan pendapat lain yang lebih baik ataupun
dengan pendapat yang sama tetapi telah disesuaikannya berdasarkan nalarnya
sendiri. Descartes yakin bahwa dengan cara itu dia akan berhasil mengarahkan
hidupnya ke arah yang jauh lebih baik dibanding jika dia membangunnya di atas
landasan tua, yaitu apabila dia hanya bertumpu pada prinsip-prinsip yang
diserapnya di masa muda tanpa pernah diperiksa kebenarannya. Hal ini dengan
jelas dikatakannya dalam bukunya Risalah tentang Metode pada bagian yang
pertama.
Dalam bukunya Risalah tentang
Metode, Descartes mengemukakan empat prinsip yang dapat digunakan untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar-benar benar dan tidak dapat diragukan atau
disanksikan lagi, yaitu:
a. Tidak pernah menerima apapun sebagai benar kecuali jika saya
mengetahuinya secara jelas bahwa hal itu memang benar, artinya menghindari
secara hati-hati penyimpulan yang terlalu cepat dan praduga, dan tidak
memasukkan apapun dalam pikiran saya kecuali apa yang tampil sedemikian jelas
dan gamblang di dalam nalar saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk
meragukannya.
b. Memilah satu per satu kesulitan yang akan saya telaah menjadi
bagian-bagian kecil sebanyak mungkin atau sejumlah yang diperlukan, untuk
memudahkan penyelesaiannya.
c. Berpikir secara runtut dengan mulai dari objek-objek yang
paling sederhana dan paling mudah dikenali, lalu meningkat sedikit demi sedikit
sampai ke masalah yang paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan
objek-objek yang secara alami tidak beraturan.
d. Membuat perincian yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang
demikian menyeluruh sampai yakin bahwa tidak ada yang terlupakan.
Lebih lanjut Descartes
mengatakan bahwa sebenarnya keempat prinsip di atas bukanlah hal yang sulit
untuk dilakukan. Descartes mengatakan, “rantai panjang dari pertimbangan yang
sederhana dan mudah yang biasa dipakai oleh para ahli ilmu ukur untuk mencapai
kesimpulan-kesimpulan dari pemaparan-pemaparan mereka yang paling sulit, telah
memimpin saya membayangkan bahwa segala sesuatu, sejauh pengetahuan manusia
sanggup mencapainya, saling berhubungan dengan cara yang sama, dan bahwa tidak
ada sesuatupun yang terlalu terpencil dari kita sehingga berada di luar
jangkauan kita, atau terlalu tersembunyi sehingga kita tidak dapat
menemukannya, asal saja kita menghindarkan diri dari menerima hal yang salah
sebagai benar, dan senantiasa melindungi dalam pikiran kita aturan yang perlu
untuk pengambilan kesimpulan (deduksi) mengenai satu kebenaran dari yang
lainnya”. Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Descartes
menganggap benar bahwa segala pengetahuan bersumber dari rasio manusia. Bahwa
tidak ada satupun hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia asalkan manusia
mau menggunakan nalarnya.
Descartes ingin mendapatkan
kebenaran yang benar-benar benar sehingga kebenaran tersebut tidak dapat lagi
dibantahkan ataupun diragukan. Oleh karena itu, Descartes memulainya dengan
meragukan segala sesuatu yang diterimanya dari luar melalui indera karena
menurutnya ada kalanya indera menipu kita. Bahkan keberadaan dirinya sendiri
pun diragukannya juga karena menurutnya terkadang semua pemikiran yang muncul
pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur sehingga dia tidak
dapat mengetahui dengan pasti apakah dia sedang bermimpi atau tidak.
Pada akhirnya Descartes
menemukan bahwa meskipun segala sesuatu dapat diragukannya, satu hal yang tidak
dapat diragukannya adalah fakta bahwa dia sedang ragu-ragu. Descartes menemukan
fakta bahwa dia sedang ragu-ragu adalah fakta yang tidak dapat dibantah oleh
siapapun atau apapun juga. Jika dia sedang ragu-ragu, maka hal itu berarti
membuktikan bahwa dia sedang berpikir. Jika dia tahu bahwa dia sedang berpikir,
maka haruslah ada sang pemikir, yaitu dirinya sendiri. Jika pemikir harus ada,
maka dirinya pun harus ada. Bahkan ketika dia membayangkan seolah-olah dirinya
sama sekali tidak memiliki badan dan tidak ada dunia ataupun ruang tempat dia
berada, hal itu justru membuktikan dengan jelas dan pasti bahwa dia ada. Hal
ini kemudian menjadi aksiomanya yang paling terkenal, “Je pense donc je suis atau cogito ergo sum” yang artinya “saya berpikir,
maka saya ada”. Akhirnya, hal ini menjadi prinsip pertama dari filsafatnya. Hal
ini dijelaskannya dalam bukunya Risalah tentang Metode.
Pada akhirnya dapat
disimpulkan bahwa filsafat Descartes dilandasi oleh pencarian suatu kebenaran
yang tidak dapat disangkal oleh siapapun atau apapun dengan cara berpikir dan
bernalar dengan rasio yang murni yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri.
Metode meragukan segala sesuatu di awal adalah cara untuk mendapatkan
pengetahuan dengan lebih terperinci sehingga lebih jelas dan benar.
3. Teori Descartes tentang Agama
Kesangsian metodis
sudah menemukan cogito, yakni
subjektivitas, pikiran atau kesadaran. Descartes lalu menyebut pikiran sebagai
idea bawaan yang sudah melekat sejak kita dilahirkan ke dunia ini. Dia
menyebutnya “res cogitans”. Dalam
kenyataan, aku ini bukan hanya pikiran, tapi juga sesuatu yang bisa diraba dan
dilihat. Kejasmanianku ini bisa saja merupakan kesan yang menipu, tetapi bahwa
kesan itu ada sejak lahir, meskipun tidak selalu sempurna, menunjukkan bahwa
kejasmanian juga merupakan sebuah idea bawaan. Descartes menyebutnya keluasan
atau “res extensa”. Akhirnya, dia
juga berpendapat bahwa aku juga memiliki idea tentang yang sempurna. Lalu, dia
mengatakan bahwa Allah juga merupakan idea bawaan.
Pertanyaannya sekarang,
Apakah ketika idea itu hanya ada dalam pikiran kita atau merupakan kenyataan di
luar pikiran juga? Bahwa kita memiliki idea pikiran, Allah, dan keluasan apakah
menunjukkan adanya ketiga itu. Tentang yang pertama, Descartes sudah mengatakan
bahwa aku berpikir maka ada, maka pikiran adalah suatu substansi, yaitu
kenyataan yang berdiri sendiri, dan disebutnya jiwa. Tentang keluasan atau
kejasmanian, Descartes mengatakan bahwa mustahil Allah mahabenar itu menipu
kita tentang adanya kejasmanian. Karena itu, materi adalah juga suatu
substansi. Akhirnya, Allah sendiri suatu substansi, maka Allah itu ada.
Menyimpulkan bahwa kita memiliki idea Allah, maka Allah ada, disebut argumen
ontologis. Di sini Descartes termasuk filsuf yang membuktikan adanya Allah
sejalan dengan Anselmus dan Thomas. Lebih daripada itu, Descartes sebetulnya
mengandaikan bahwa adanya Allah menjadi ukuran segala pengetahuan, termasuk
menjamin aku yang menyangsikan dapat mencapai kebenaran.
B. Empirisme (David Hume)
1. Teori Hume
Menurut Hume pemahaman manusia
dipengaruhi sejumlah kepastian dasar tertentu mengenai dunia eksternal, masa
depan, sebab dan kepastian-kepastian ini merupakan naluri alamiah manusia, yang
tidak dihasilkan ataupun bisa dicegah oleh akal budi atau proses pemikiran
manusia. Dengan naluri alamiah manusia dapat mencapai kepastian-kepastian yang
memungkinkan pengetahuan manusia.
Teori Hume ini meruntuhkan teori rasionalisme
yang mengatakan bahwa sumber pengerahuan adalah melalui rasio atau akal.
Menurut Hume, pengetahuan itu bersumber dari pengalaman yang diterima oleh
kesan indrawi. Hal demikian mendorong bagi kita bahwa untuk menemukan sebuah
pengetahuan memerlukan pengalaman kita, sehingga untuk membuktikan sebuah
kebenaran akan pengetahuan itu memerlukan penelitian dilapangan, seperti
observasi atau percobaan, yang mana dengan cara tersebut merupakan titik tolak
dari pengetahuan manusia.
Hume tidak menerima subtansi,
sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada
bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan
langsung, sedangkan gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu.
Banyak menyalahpahami pandangan-pandangan Hume,
seolah-olah dia ingin menghancurkan filsafat. Sebetulnya ingin melengkapi
filsafat dengan sebuah metode ilmiah yang rigorus dan dalam usaha berani itu
dia mengambil sikap skeptis. Hume prihatin melebih-lebihkan kemampuan akal
manusia. Disamping tercampur dengan dogma-dogma Katolik, jargon-jargon politis
dan takhayul-takhayul rakyat. Karena itu Hume ingin membersihkan filsafat dari
simbol-simbol religius dan metafisis (sekularisasi).
Skeptisisme mendasar dalam pikiran Hume dapat dilukiskan sebagai
serangan terhadap tiga front pemikiran. Pertama, Hume ingin melawan
ajaran-ajaran rasionalistis tentang idea-idea bawaan serta anggapannya bahwa
jagad terdiri dari sebuah keseluruhan yang saling bertautan. Dalam hal ini dia
setuju dengan pandangan-pandangan Berkeley dan Locke. Kedua, Hume menyerang
pemikiran-pemikiran religius, entah dari Katolik, Anglikan, maupun dari para
penganut deisme yang percaya bahwa Allah
membiarkan alam semesta berjalan mekanis tanpa campurtangan-Nya. Agama masih
percaya adanya sebab tertinggi dan Hume melawan ide kausalitas. Serangan ketiga
diarahkan kepada empirisme sendiri yang masih percaya pada adanya substansi.
Selanjutnya
Hume berusaha menjelaskan bagaimana berpikir bahwa substansi itu ada.
Menurutnya, pikiran mengamati ciri-ciri yang senantiasa ada bersama-sama.
Imajinasi lalu membuat kesatuan artifisial atas ciri-ciri itu dan pikiran pun
mendapat kesan seolah-olah substansi itu ada. Menurut Hume, kesatuan ciri yang
kemudian disebut substansi itu hanyalah fiksi saja, khayal. Substansi hanyalah
kumpulan persepsi belaka. Kalau objek di luar kita disangsikan adanya,
bagaimana dengan kesadaran diri atau ‘aku’? Di dalam menjawab ini Hume
mengambil sikap yang paling skeptis. Berkeley yang tidak percaya akan adanya
objek luar masih percaya adanya substansi rohani, yakni ‘aku’. Akan tetapi Hume
juga mempersoalkan adanya substansi rohani itu. Menurutnya, kita ini selalu
menerima kesan, idea, dan persepsi, seperti: panas, dingin, berat, senang, sedih,
nikmat, dst. Sampai kita mendapat kesan bahwa ada suatu kesatuan ciri yang
senantiasa ada bersama-sama dan kita sebut ‘diriku’. Semua ini, menurut Hume,
hanyalah kumpulan persepsi saja, “a bundle of perceptions” . kalau
persepsi-persepsi itu disingkirkan, kita segera kehilangan ‘diriku’. Misalnya,
sewaktu tidur, katanya ‘diriku’ itu tidak ada. Yang paling pasti adalah setelah
mati, sebab dengan kematian segala persepsi
betul-betul dihancurkan dan dilenyapkan, sehingga membuat ‘diriku’ ini
non-ensitas (bukan kenyataan).
2. Masalah Kausalitas
(Sebab-Akibat)
Sejak lama dalam filsafat, bahkan juga dalam agama,
diyakini adanya hubungan sebab akibat atau kausalitas yang terjadi di jagad
raya ini. Agama memetafisikkan kausalitas sebagai sebuah
kenyataan akhir yang disebut Allah, dan filsafat menanganinya sebagai masalah
tentang dunia luar. Dalam konsep kusalitas diandaikan bahwa kalau ada peristiwa
A terjadi lalu B terjadi, disimpulkan bahwa ada hubungan niscaya antara A dan
B. Hume berpendapat bahwa pendapat tentang hubungan niscaya itu tidak benar dan
didasarkan pada sebuah kebingungan belaka. Menurutnya segala peristiwa yang
bisa kita amati memiliki hubungan tetap satu sama lain, tetapi hubungan tetap
itu tidak boleh dianggap sebagai hubungan sebab akibat. Dalam kasus api
menyala, menyentuh kertas, dan kertas terbakar tak bisa disimpulkan bahwa api
menyebabkan kertas terbakar (propter hoc), sebab bisa kita ketahui
hanyalah bahwa kertas terbakar sesudah api menyentuhnya (post hoc). Yang
bisa kita amati hanyalah bahwa gejala yang satu menyusul gejala yang lain,
sedangkan kausalitas tak bisa kita amati. Hume mengatakan bahwa konsep
kausalitas hanyalah “animal faith” (kepercayaan naif) kita belaka yang
tidak punya dasar.
Dengan menyerang konsep kausalitas, Hume sebenarnya
juga mengkritik metode induksi yang dirintis sejak Francis Bacon. Metode ini
didasarkan pada pengamatan atas gejala khusus yang satu disusul oleh gejala
khusus yang lain, lalu disimpulkan adanya kausalitas universal di antara
keduanya. Karena suatu gejala muncul lagi dan lagi, lalu orang menyimpulkan
bahwa gejala itu pasti bersifat umum dan suatu hukum alam dapat disimpulkan
darinya. Induksi, menurut Hume, juga didasarkan pada animal faith,
karena orang mengambil kesimpulan gegabah dengan cara melompat dari hal-hal
khusus ke hal yang umum. Padahal dari penjumlahan beberapa kasus khusus
(betapapun banyaknya), kita tak bisa menyimpulkan suatu hukum umum yang
mencakup semua kasus yang ada dan mungkin ada. Karena itu ilmu pengetahuan tak
akan pernah mencapai taraf keniscayaan. Paling-paling ilmu pengetahuan hanya
berada pada taraf probabilitas.
3. Teori Hume Tentang Agama
Hume mengambil sikap skeptik
terhadap agama juga. Pertama-tama dia mengkritik deisme yang berkembang pada
zaman Pencerahan. Kaum deis menjelaskan bahwa jagad raya ini bekerja mekanis
seperti arloji dan Allah tidak lagi campur tangan dalam sejarah. Hume tidak
hanya menganggap bahwa ide mekanistis itu hanyalah kepercayaan naif belaka
tentang kausalitas, tetapi juga bahwa monoteisme tak punya dasar, khususnya
anggapan bahwa dunia ini jahat dan buruk, maka bisa disangkal bahwa Allah itu
sempurna. Malah boleh saja kita beranggapan bahwa Allah itu sumber kejahatan
juga. Yang jelas, menurut Hume, kita tidak tahu pasti tentang apa itu dunia
yang lain selain dunia ini. Sikap skeptis Hume condong pada agnotisisme, yaitu
anggapan bahwa kita tidak bisa tahu apakah Tuhan ada atau tidak.
Terhadap ajaran tentang
keabadian atau immortalitas, Hume juga melontarkan kritiknya. Orang kebanyakan
berpendapat bahwa kita berbuat baik di dunia ini karena percaya akan adanya
keabadian, jadi keabadian menjadi dasar sistem moral. Menurut Hume orang yang
percaya akan pendapat macam itu hanya dikaburkan oleh ilusi-ilusi mereka
belaka. Kita tidak perlu mengandalkan immortalitas untuk menyusun sebuah hukum
moral di dunia ini. Manusia bisa mewujudkan cita-citanya tentang hidup sosial
yang baik di dunia ini tanpa menunggu akherat. Seperti juga tentang Tuhan, kita
tak punya pengalaman tentang hidup sesudah mati.
Dalam kritiknya atas agama
Hume juga mengkritik ajaran tentang mukjizat. Ada lima argumen yang
dilontarkannya. Pertama, sepanjang sejarah tak pernah ada mukjizat yang
disaksikan secara kolektif oleh orang-orang cerdas. Kedua, adalah kecenderungan
tetap manusia meyakini peristiwa-peristiwa luar biasa, tapi kecenderungan macam
ini tidak membuktikan kebenaran adanya mukjizat. Ketiga, dalam sejarah mukjizat
hanya terjadi ketika manusia ini belum maju dalam ilmu pengetahuan dan setelah
ada kemajuan, ajaran tentang mukjizat justru dipersoalkan, maka sebetulnya
mukjizat hanya diyakini oleh mereka yang berpikir infantil dan picik. Keempat,
segala agama wahyu mempunyai klaimnya sendiri atas mukjizatnya masing-masing,
maka tidak pernah ada kesempakatan empiris tentang mukjizat yang benar. Kelima,
semakin ilmiah penelitian historis, semakin ragulah si sejarawan terhadap
peristiwa-peristiwa mukjizat. Sejarawan bahkan akan menemukan bahwa mukjizat
adalah tafsiran para nabi belaka untuk memperkenalkan ajaran iman yang baru.
Hume menyarankan bahwa sikap yang
tepat terhadap agama adalah sikap “skeptisisme sehat”. Dia berpendapat bahwa
agama bersumber pada takhayul, maka sikap yang tepat terhadapnya adalah
membersihkan takhayul-takhayul itu. Kita harus mengembalikan manusia dan agama
dari kenyataan adikodratinya ke kenyataan kodratinya yang empiris. Karena
skeptisisme itu kita juga sulit menemukan konsep idea Hume sendiri tentang
agama. Skeptisisme Hume sendiri pada gilirannya tak bisa dibuktikan secara
empiris, maka tinggal sebagai spekulasi dari pihak Hume sendiri.
C. Analisis Kritis
Ada beberapa kelemahan dari
rasionalisme, yakni: Pertama, pengetahuan yang dibangun oleh rasionalisme
hanyalah dibentuk oleh ide yang tidak dapat dilihat dan diraba. Eksistensi
tentang ide yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum
dapat didukung oleh semua orang dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Kedua,
kebanyakan orang merasa kesulitan untuk menerapkan konsep rasionalisme ke dalam
kehidupan keseharian yang praktis. Ketiga, rasionalisme gagal dalam menjelaskan
perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia. Banyak dari ide yang sudah pasti
pada satu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain.
Hal lain yang dapat dikritisi disini adalah perkataan Descartes
yang mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang begitu terpencil atau begitu
tersembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh manusia asalkan manusia mau
menggunakan nalarnya. Akan tetapi, tidak semua hal di dunia ini bisa dimengerti
oleh pemikiran kita. Kita hanyalah manusia yang terbatas. Hanya Allah yang
tidak terbatas. Jika kita mau mencari kebenaran yang absolut, sampai kapan pun
kita tidak akan menemukannya karena kebenaran yang absolut hanya dimiliki oleh
Allah. Oleh karena itu, janganlah kita bersandar hanya pada pengertian kita
sendiri melainkan melandaskannya pada Tuhan. Hal itulah yang menjadi kelemahan
dari paham rasionalisme, yakni pencarian kebenaran hanya terbatas pada
kebenaran koherensi saja. Sehingga paham ini lebih cenderung bersifat subjektif
dan solipsistic (hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berada
dalam benak orang yang berpikir tersebut). Oleh karena itu, melalui
rasionalisme akan diperoleh pengetahuan tanpa adanya suatu konsensus yang dapat
diterima oleh semua pihak.
Terlepas dari kelemahan
tersebut, rasionalisme mampu menemukan prinsip, hukum, dalil yang bisa
digunakan untuk generalisasi yang melampaui sifat empirik yang bervariasi. Hal
itu karena rasionalisme menggunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuan.
Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut
anggapannya jelas dan dapat diterima. Sehingga, rasionalisme telah
menjadi pintu utama bagi kelahiran falsafah babak modern, yang pada gilirannya
telah berhasil melahirkan berbagai aliran-aliran falsafat lainnya, termasuk
aliran yang menentangnya.
Teori empirisme yang
dikemukakan oleh Hume meruntuhkan teori rasionalisme yang mengatakan bahwa
sumber pengetahuan adalah melalui rasio atau akal. Menurut Hume, pengetahuan
itu bersumber dari pengalaman yang diterima oleh kesan indrawi. Hal demikian
mendorong bagi kita, bahwa untuk menemukan sebuah pengetahuan kita memerlukan
pengalaman kita. Dengan demikian, bahwa untuk membuktikan sebuah kebenaran akan
pengetahuan itu memerlukan penelitian dilapangan, observasi, percobaan yang
mana dengan cara-cara seperti itulah merupakan titik tolak dari pengetahuan
manusia. Sehingga pengamatan kita akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai
gejala yang mengikuti pola-pola tertentu. Kriteria kebenaran yang dipakai dalam
empirisme, tidak hanya mengacu pada kebenaran koherensi saja tetapi juga pada
tataran kriterai kebenaran korespondensi (saling berhubungan antara pernyataan
dengan realita yang ada).
Akan tetapi, empirirsme juga
memiliki beberapa kelemahan. Pertama, Empirisme didasarkan kepada pengalaman.
Tetapi apakah yang dimaksud dengan pengalaman? Pada satu waktu ia hanya berarti
sebagai ransangan pancaindera. Lain waktu ia berarti sebagai sebuah sensasi
ditambah dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak
berhubungan langsung dengan kenyataan objektif yang sangat ditinggikan oleh
kaum Empiris. Fakta tidak mempunyai apapun yang bersifat pasti. Kedua, sebuah
teori yang sangat bergantung kepada persepsi pancaindera kiranya melupakan
kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna.
Pancaindera sering menyesatkan karena tidak memiliki perlengkapan untuk
membedakan antara khayalan dan fakta. Ketiga, Empirisme tidak memberikan
kepastian. Apa yang disebut sebagai pengetahuan yang mungkin, sebenarnya
merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan.
izin copi yh
BalasHapussilahkan...
BalasHapustanggapan anda dengan pandangan ini mohon di cantumkan ?
BalasHapusitu di alanisis kritis
Hapus